Selasa, 28 Juni 2011

TKI DAN PEMBANGUNAN PERDESAAN

Kekerasan terhadap buruh migran kembali mengoyak nurani. Belum tuntas nasib ratusan buruh migran yang terancam hukuman mati di Malaysia, kini muncul kasus Ruyati, buruh migran asal Bekasi, Jawa Barat, yang dipancung di Arab Saudi.

Tiap kasus semacam ini muncul, keprihatinan merayap di mana-mana dari keluarga buruh migran, aktivis, politisi, hingga pemerintah. Namun, haru-biru ini tak akan lama. Dalam hitungan minggu, janji-janji manis yang diobral pemerintah untuk menuntaskan kasus hilang ditelan bumi.

Masalah buruh migran tak pernah tuntas. Dengan moratorium pengiriman TKI ke Saudi per 1 Agustus 2011 tak ada jaminan masalah buruh migran terhenti. Masalahnya penuntasan pelbagai masalah buruh migran terlalu fokus pada aspek-aspek legal-kontraktual kerja, manajemen imigrasi, administrasi prosedur penempatan, kesepakatan bilateral, dan proteksi minimal.

Semua ini tidak lebih sebagai legitimasi atas mobilisasi penempatan tenaga kerja sebagai labour export policy yang berbuah emerencing remitansi. Semua langkah itu berdimensi hubungan dengan negara lain. Sebaliknya, di dalam negeri langkah untuk mencegah dan membatasi kepergian buruh migran dengan menciptakan alternatif pekerjaan kurang disentuh. Seharusnya dua langkah itu dilakukan bersama.

Fenomena buruh migran tak ubahnya urbanisasi, ada faktor penarik dan pendorong. Peluang kerja di luar negeri dan contoh-contoh pendahulu yang “berhasil” menjadi penarik. Sebaliknya, tiadanya kerja di desa, kemiskinan, dan marginalitas menjadi faktor pendorong.

Faktor penarik tidak sepenuhnya bisa dikendalikan, kecuali pemerintah membuat kebijakan menutup akses buruh migran. Seharusnya keduanya diselesaikan secara simultan dan sinergis. Peluang kerja di perdesaan bisa dibentuk dengan industrialisasi pertanian dan pembangunan perdesaan.

Harus diakui, selama ini pemerintah gagal membangun keduanya. Indikatornya bisa dilihat dari tingkat kemiskinan. Ketika angka kemiskinan nasional menurun (dari 14,15 persen atau 32,53 juta jiwa pada 2009 menjadi 13,32 persen atau 31,02 juta jiwa pada 2010), pada periode yang sama kemiskinan di perdesaan justru naik: dari 63,35 persen jadi 64,23 persen.

Inilah fakta pahit itu: pembangunan justru kian meminggirkan warga perdesaan. Pelbagai laporan peningkatan produksi pangan tidak berarti apa-apa karena tidak membuat petani sejahtera.

Pertanian

Meningkatnya kemiskinan di perdesaan berhubungan dengan penurunan produktivitas di sektor pertanian, baik produktivitas lahan maupun tenaga kerja. Sejak otonomi daerah tahun 2001, produktivitas lahan pertanian kini hanya 2,2 ton pangan ekuivalen per hektar. Padahal, dekade 1980-an produktivitas lahan 5,6 ton per hektar.

Produktivitas tenaga kerja pertanian idem ditto: menurun dari 4,1 ton pangan per tenaga kerja tahun 1980-an kini tinggal 2 ton pangan ekuivalen per tenaga kerja (Arifin, 2010). Ini terjadi karena lahan kian letih dan rusak, sarana irigasi, dan infrastruktur perdesaan merosot, riset, dan penyuluhan tak terurus.

Data-data yang ada menunjukkan petani kini justru lebih miskin ketimbang 50-60 tahun lalu. Tahun 1960-an satu kuintal beras sama nilainya dengan 10 gram emas. Saat itu para petani mampu mengirimkan anak-anaknya sekolah ke perguruan tinggi. Sekarang keadaannya berbalik karena untuk mendapatkan satu gram emas, petani harus menjual satu kuintal beras (Pakpahan, 2007).

Bagaimana mungkin mereka bisa menyekolahkan anaknya. Kini petani tetap dalam jurang kemiskinan. Dalam kondisi seperti itu peluang kerja, termasuk jadi buruh migran, meskipun berisiko kematian, dianggap lebih bermartabat daripada menganggur.

Arah Pembangunan

Jika memang pemerintah berniat mengembalikan martabat warga dan bangsa, kasus Ruyati dan yang lainnya harus dijadikan momentum membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable (sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi, komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.

Orientasi pembangunan semacam itu telah menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan. Orientasi ini harus dihentikan. Tanpa perubahan terhadap pilihan strategi industrialisasi dan pembangunan nasional, mustahil kemiskinan di perdesaan bisa dihapus.

Untuk menghapus kemiskinan di perdesaan harus dilakukan pembangunan perdesaan. Terkait ini, tidak ada pembangunan perdesaan tanpa pembangunan pertanian. Oleh karena itu, usaha menciptakan peluang kerja (baca: menghapus kemiskinan) tidak akan berhasil tanpa upaya sistematis membenahi kebijakan dan keberpihakan pada sektor pertanian dan industri pengolahan yang memiliki keterkaitan erat dengan sektor pertanian.

Dari sisi petani, tanah, modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses pasar menjadi kebutuhan primer. Tidak cukup hanya redistribusi tanah (land reform). Prioritas pembangunan ekonomi seharusnya bukan hanya berada di pertanian atau pendalaman struktur industri, tetapi juga membangun proses industrialisasi.

Hal ini diharapkan mampu mengubah ke arah transformasi ekonomi yang menghasilkan pola perubahan struktural yang memperkuat ekonomi Indonesia di masa datang. Kesalahan industrialisasi tanpa transformasi struktur ekonomi tidak hanya memiskinkan petani, tapi juga membuat fondasi ekonomi rapuh.

Tanpa mengubah pola industrialisasi dan orientasi pembangunan mustahil kita menciptakan peluang kerja di desa.

KHUDORI
Pengamat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi, Anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
(Koran SI/Koran SI/ade)

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...