Dimuat dalam buku Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta (Lingkar Pena Publishing House, 2008)
Seperti biasa, setiapkali aku datang, mereka selalu memintaku untuk bercerita. Kali ini mereka menyuruhku untuk membawakan sebuah cerita yang tidak masuk akal. Alasannya apa, aku tidak tahu.
“Ceritakanlah kepada kami tentang sesuatu yang tak dapat diterima oleh akal.” Begitu pinta mereka tadi.
Maka aku pun bercerita tentang Cinta yang buta.
*
Cinta lahir tanpa mata. Itu sebabnya Cinta tidak pernah tahu seperti apa rupa cahaya. Hanya kegelapan yang selalu menyertai kehidupannya. Pagi, siang, senja, malam, baginya sama saja. Gulita. Tetapi, seiring dengan berjalannya sang waktu, akhirnya Cinta mengerti juga betapa pagi dan malam tidaklah sama. Cinta mengetahui hal itu melalui semesta suara. Suara-suara di pagi hari amatlah berbeda dengan suara-suara yang didengarnya di malam hari. Cinta memang buta, tetapi Cinta masih memiliki kedua telinga untuk mendengar segala jenis suara. Cinta mengetahui banyak hal dengan mendengar. Cinta melihat dunia dengan kedua telinga.
Cinta adalah seorang gadis yang buta. Rambutnya sebahu, hitam, dan bergelombang. Hidungnya mancung dan bibirnya berwarna merah, semerah buah tomat. Kulit tubuhnya halus dan putih, seputih sekumpulan awan-gemawan yang selalu bergulung-gulung melintasi cakrawala. Belum lagi leher, dada, dan kakinya yang terlihat begitu indah dan menakjubkan untuk dimiliki oleh seorang gadis seusianya. Seandainya, ya, seandainya saja ada seorang laki-laki yang tanpa sengaja menyaksikan tubuh gadis tuna-netra itu tanpa busana, tentu laki-laki itu dengan sekejap bisa lupa diri dan akan langsung menggarap tubuh Cinta yang indah dan menakjubkan itu dengan begitu rakus, begitu maruk, begitu membabibuta tanpa sempat berpikir tentang dosa dan neraka.
Cinta memang cantik. Cinta memang memiliki tubuh yang bisa dikatakan hampir sempurna. Tetapi, apakah itu masih begitu penting bagi dirinya yang tidak memiliki mata? Cinta tidak pernah bisa tahu secantik apa wajahnya. Cinta tidak pernah bisa tahu sesempurna apa tubuhnya. Meskipun sejuta cermin sudah berdiri tegak mengelilinginya, mengepung tubuhnya dari berbagai sudut penjuru, Cinta tetap tidak pernah mampu untuk menatap wajah dan tubuhnya sendiri. Jangankan untuk menatap wajahnya sendiri, untuk sekadar melirik setitik cahaya yang berada di ujung kegelapan pun Cinta tidak pernah sanggup. Itu sebabnya Cinta sering merasa sedih setiap kali Ratih, wanita yang sangat dikasihinya itu, memuji kecantikannya.
“Kamu cantik, Cinta.”
“Sudah ratusan kali kamu berkata seperti itu, Ratih. Terus terang aku sudah tidak terhibur lagi. Aku sedih setiap kali kamu berkata seperti itu. Katakanlah itu kepada mereka yang memiliki mata.”
“Tapi kamu memang cantik, Cinta. Sungguh, aku tidak berbohong.”
“Percuma, Ratih. Aku tidak akan pernah bisa mengetahuinya. Aku kira kamu hanya ingin menghibur hatiku saja. Kamu tahu aku memiliki kekurangan, kamu tahu aku cacat, lantas kamu merasa iba kepadaku. Kamu bilang wajahku cantik, agar aku bisa sedikit melupakan kecacatan diriku, bukan? Kamu hanya menghiburku, Ratih. Kamu hanya ingin menghiburku.”
“Astaga! Mengapa kamu sampai berpikir seperti itu, Cinta?”
“Entahlah, aku juga tidak tahu mengapa.”
“Kamu cantik, Cinta. Kamu cantik dan aku tidak berbohong akan hal itu.”
“Ah, seandainya aku juga tahu…”
“Cinta.”
“Hmm.”
“Aku mencintaimu, Cinta.”
Tentu saja Cinta juga mencintai Ratih. Dari bibir Ratih, Cinta jadi tahu lebih banyak tentang dunia. Setiap hari Ratih memang selalu bercerita. Ada kalanya Ratih bercerita tentang laut, rembulan, matahari, dan bintang. Ada kalanya juga Ratih bercerita tentang gunung, hutan, bunga, dan rerumputan. Melalui kisah-kisah yang diutarakan Ratih itulah akhirnya Cinta bisa tahu bahwa gajah adalah binatang bertubuh besar yang memiliki telinga lebar dan berhidung panjang. Gara-gara cerita dari Ratih itulah akhirnya Cinta bisa menduga-duga seperti apa rupa kupu-kupu, semut, kucing, dan segala jenis fauna lainnya.
Cinta mencintai Ratih dalam kegelapan. Dalam kegulitaannya itulah Cinta merasa betapa Ratih begitu berharga bagi dirinya.
*
Cinta lahir tanpa mata. Itu sebabnya Cinta terkurung di dalam kamarnya. Kedua orangtuanya adalah sepasang manusia yang menuhankan kesempurnaan. Kehadiran Cinta di dalam keluarga tentu saja tidak diharapkan. Meskipun Cinta lahir sebagai bayi yang cantik, lucu, dan menggemaskan, tetap saja ada sebongkah kekecewaan di dalam hati kedua orangtuanya. Cinta lahir tanpa mata, sehingga kedua lubang matanya itu tampak kosong serupa lorong hampa yang gulita. Bayi yang lahir tanpa mata adalah bayi yang tidak sempurna. Tidak sempurna adalah cacat. Cacat adalah aib, dan aib itu tentu saja memalukan. Itu sebabnya Cinta selalu dikurung di dalam kamarnya tanpa di beri kebebasan. Kedua orangtuanya tidak dapat membayangkan apa jadinya jika ada masyarakat yang mengetahui bahwa mereka memiliki anak yang cacat.
Waktu terus merambat. Cinta yang sejak bayi tidak pernah merasakan air susu ibunya itu pun akhirnya menjadi seorang gadis remaja. Cinta besar di dalam kamar. Terpasung seperti seorang gadis gila yang celaka. Cinta yang sebelumnya menganggap bahwa dunia ini hanyalah semesta kegelapan, lambat laun akhirnya Cinta mengerti juga betapa dunia ini sebenarnya tidaklah gelap, melainkan penuh warna. Cinta tahu itu dari Ratih yang setiap hari selalu membantu keperluan dirinya: memberikan makan dan minum, membereskan pakaiannya, dan mengantarkannya ke toilet jika Cinta ingin buang air besar maupun kecil.
“Mengapa aku tidak bisa melihat, Ratih?” tanya Cinta kepada Ratih.
“Karena kamu tidak memiliki mata,” jawab Ratih.
“Apakah kamu memiliki mata, Ratih?”
“Ya, aku memiliki mata.”
“Kamu bisa melihat?”
“Ya, aku bisa melihat.”
“Mengapa aku tidak memiliki mata, Ratih? Mengapa aku tidak bisa melihat?”
Saat itu Ratih tidak menjawab apa-apa. Ratih hanya bisa memeluk tubuh Cinta dengan begitu erat, sambil membisikkan sesuatu di telinga kanan milik Cinta, ”Semua ini sudah ada yang mengatur, Cinta. Kita tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi selain menjalaninya.”.
Begitulah. Cinta pun tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang selalu ingin banyak tahu. Setiap kali Cinta mendengar sesuatu, kicau burung misalnya, Cinta selalu bertanya kepada Ratih: suara apakah itu? Seperti apa bentuknya? Mengapa suaranya seperti itu? Lantas, Ratih akan menjawab panjang lebar, terkadang ditambah dengan sedikit lelucon segar yang selalu saja membuat Cinta tertawa atau setidaknya tersenyum riang. Ratih memang pandai bercerita. Setiap kali Cinta bertanya, Ratih selalu menjawab. Setiap ada sesuatu hal yang Cinta tidak mengerti, Ratih selalu menjelaskan. Begitulah selalu. Dari waktu ke waktu. Sehingga, entah mengapa, pada akhirnya Cinta dan Ratih pun saling menyukai dan ingin saling memiliki.
*
Cinta mencintai Ratih dalam kegelapan. Dalam kegulitaanya itulah akhirnya Cinta merasa tersiksa. Itu sebabnya, pada suatu malam yang anginnya terasa begitu dingin menggigilkan tulang, Cinta mengatakan kepada Ratih betapa dirinya ingin sekali memiliki sepasang mata.
“Berikan aku sepasang mata, Ratih.”
Sejenak Ratih terdiam. Tentu saja Ratih tidak bodoh, sehingga Ratih tidak menanyakan alasan apa Cinta ingin memiliki sepasang mata. Tentu saja agar bisa melihat. Ratih tahu itu.
Ratih hanya bisa bertanya, “Kapan?”
Cinta menjawab, “Sekarang. Aku sudah jenuh dengan kebutaan mataku, Ratih. Aku juga ingin melihat dunia yang kamu lihat. Aku ingin melihat rembulan dan bintang gemintang. Aku ingin melihat kupu-kupu, kucing, dan gajah yang katamu berhidung panjang itu.”
Ratih tersenyum.
“Hanya itu?” tanya Ratih kemudian.
Cinta mengangkat kedua telapak tangannya, meraba-raba udara, mencari-cari letak wajah Ratih yang sedang berada di hadapannya. Disentuhnya wajah Ratih itu dengan amat lembut dan perlahan. Ada yang bergerak-gerak di dalam dada Ratih ketika merasakan kedua telapak tangan Cinta yang halus itu meraba-raba kedua pipinya.
“Tentu saja aku juga ingin melihat wajahmu, Ratih. Aku ingin tahu seperti apa bentuk matamu, kupingmu, juga rambutmu.”
“Aku juga ingin kamu bisa melihat wajahku, Cinta. Aku ingin kamu tahu seperti apa bentuk mataku, kupingku, juga rambutku.”
“Itu sebabnya, berikan aku sepasang mata.”
“Agar bisa melihat dunia?”
“Agar bisa melihat dunia.”
“Agar bisa melihatku?”
“Agar bisa melihatmu.”
“Cinta…”
“Hmm.”
“Akan aku berikan sepasang mata untukmu.”
“Kapan?”
“Sekarang. Saat ini juga.”
“Sungguh?”
“Apakah aku pernah tidak bersungguh-sungguh kepadamu?”
Cinta menggelengkan kepalanya.
“Sepasang mata milik siapakah yang akan kamu berikan untukku, Ratih?” tanya Cinta kemudian.
“Milikku.”
Cinta terdiam. Cinta menarik nafas dalam-dalam. Cinta merasa segalanya menjadi begitu lengang.
“Mengapa kamu terdiam, Cinta? Adakah yang salah dengan ucapanku?”
“Mengapa kamu rela mengorbankan sepasang matamu itu untukku?”
Ratih tidak langsung menjawab. Dengan perlahan, Ratih mencongkel bola mata kirinya dengan jari telunjuknya. Astaga! Tidak ada setetes darah pun yang keluar dari lubang matanya itu. Ajaib!
“Aku rela memberikan mataku ini untukmu, karena aku mencintaimu, Cinta.”
Ratih membuka kelopak mata Cinta, lantas memasukkan bola mata kirinya ke lubang mata kiri Cinta yang kosong itu dengan amat perlahan. Setelah berhasil, Ratih buru-buru menutup kembali kelopak mata Cinta. “Jangan kamu buka dulu matamu sebelum keduanya terpasang.,” ujar Ratih lembut. Cinta mengangguk.
Kemudian, Ratih mencongkel bola mata kanannya dengan jari telunjuknya. Kali ini Ratih amat hati-hati. Seperti tadi, tidak ada setetes darah pun yang mengalir. Setelah bola mata kanannya berhasil dicongkel, Ratih pun menjadi buta. Kegelapan menyelimuti dirinya. Untung saja Ratih sudah tahu seperti apa seharusnya letak bola mata itu ditaruh, sehingga Ratih tidak keliru ketika memasukkan bola mata kanannya itu ke dalam lubang mata Cinta.
Sepasang mata milik Ratih pun akhirnya berhasil pindah tempat ke lubang mata milik Cinta. Dengan letak dan posisi yang sempurna.
“Sekarang, coba buka kedua matamu dengan perlahan,” pinta Ratih dengan suara yang amat halus.
Cinta menarik nafas dalam-dalam.
Cinta membuka kedua matanya dengan perlahan.
“Bagaimana? Apakah kamu bisa melihat wajahku?” tanya Ratih kemudian.
Cinta tidak menjawab apa-apa.
*
“Tamat,” ujarku, sambil membenarkan letak topi hijauku.
Sejenak mereka terdiam. Mereka menatapku dengan pandangan mata bertanya-tanya.
“Apakah akhirnya Cinta bisa melihat?” tanya mereka dengan raut wajah penasaran.
Aku mengambil sebatang rokok dari dalam saku jaketku, menyelipkannya di antara celah bibirku, lantas membakarnya. Sekepul demi sekepul asap membumbung di udara.
“Menurut kalian, bagaimana?” tanyaku kemudian, sambil berdiri dan beranjak pergi.
Depok, Februari-Maret 2006
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar