Selasa, 28 Juni 2011

KAWIN GELAP, POLIGAMI, NEGARA

Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib
Dalam buku: Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki

Banyak orang, baik yang bos atau bukan, baik pegawai negeri maupun bukan, melakukan kawin bawah tangan. Bahasa gamblangnya: kawin gelap. Bisa dalam konteks poligami sebagaimana Islam membuka peluang darurat untuk itu, maupun dalam arti gundik atau yang biasa disebut istri simpanan. Keduanya harus dilangsungkan secara gelap. Entah karena - bagi pegawai negeri - takut dipecat berdasarkan PP-10, maupun karena tak mungkin diizinkan istri di rumah.

Bukan hanya tak mungkin diizinkan: sudah jadi pengetahuan umum bagi para suami, bahwa lebih baik disuruh memanggul batu ke atas bukit daripada dimarahi istri. Bagi sangat banyak suami, istri jauh lebih mengerikan dibanding malaikat penjaga neraka. Kalau Kitab suci bilang adzabun syadid, alias siksa yang pedih: bagi umumnya suami, tidaklah ditakutkan berasal dari Tuhan, melainkan dari istri.

Kita kaum lelaki sanggup melakukan dosa besar penghisapan sosial 30 tahun terus-menerus dengan tenang dan diiringi sembahyang sehari lima kali dengan wajah tanpa dosa, alias belagak pilon di depan Tuhan. Tetapi, sekali saja ditabrak tampang cemberut sang istri, itu qiyamah shughra atau kiamat kecil namanya.

Meski demikian, ada juga istri yang ajaib. Suaminya dipersilakan, bahkan didorong-dorong untuk kawin lagi. Kalau perlu ia yang carikan perawan. Minimal dipersilakan masuk kamar pembantu kapan saja asal jangan ketahuan anak-anak dan tetangga: dengan syarat tak usah kawin resmi lagi dengan siapapun. Mungkin karena ia sedang melakukan tharikat talis, ngelmu kanthong bolong, ngelmu suwung bagaikan Prabu Yudhistira. Atau, mungkin itu sebuah tawaran konsensi untuk secara psikologis sang istri juga akan memperoleh lubang konsensi jika hendak melakukan sesuatu di luar persuami-istrian mereka.

Banyak orang yang melakukan kawin gelap. Artinya, kita semua sepakat bahwa itu tidak sedikit. Juga karena saya, kita, tak pernah tahu persis berapa jumlahnya. Kalau diriset, apalagi kalau pakai wawancara langsung, atau bahkan sekadar pakai kuisioner, umumnya para pelaku itu enggak ngaku. Lha wong namanya saja aktivitas gelap!

Saya sendiri bahkan tidak sungguh-sungguh paham mengenai hal ini. Misalnya yang tidak saya mengerti adalah bagaimana cara nikahnya? Dan kalau pertanyaan itu saya ajukan kepada teman-teman, pasti akan menjadi berita obrolan yang judulnya: “Emha butuh informasi bagaimana cara kawin gelap ….”

Permasalahannya, kenapa orang-orang melakukan itu? Tentu banyak sebabnya. Yang pasti karena enak. Setidak-tidaknya demikian yang dibayangkan ketika seseorang hendak melakukannya, serta ketika kita semua mendengarkan tentang seseorang yang melakukan kawin gelap. Yang enak tentu saja bukan “rumahtangga”-nya, melainkan “kawin”-nya.

Mungkin juga karena rumah tangga tak bahagia. Bnyak tak puas, tak cocok. Suami istri baru paham watak dan kecenderungan masing-masing sesudah setahun dua memasuki rumah tangga. Dulu waktu pacaran yang mereka ketahui dan nikmati hanya lapisan paling superfisial dari cinta, plus takhyul yang enak-enak tentang rumah tangga.

Berumaha tangga itu bagaikan rasa pedas. Rasa pedas tidak bisa diinformasikan meskipun melalui sepuluh tesis ilmiah para doktor. Ia hanya bisa dialami. Kalau seseorang mengulum isi lombok barang satu menit, baru ia ngeh tentang apa itu rasa pedas. Waktu dibayangkan, ia adalah kehangatan dan kenikmatan, sesudah dikulum baru tahu itu panas.

Istri tidak sama dan sebangun dengan jodoh, seperti juga jodoh tidak identik dengan istri. Istri belum tentu jodoh, jodoh belum tentu jadi istri. Jodoh adalah suatu pengertian obyektif tentang komposisi dan harmoni antara dua manusia. Tetapi, juga bisa dipahami di luar frame itu: jodoh adalah dua titik yang ditentukan oleh (sunnah) Tuhan untuk menyatu, terserah secara obyektif ia harmonis atau tidak. Sebab orang lembut tidak harus memperoleh harmoni dengan orang lembut. Bisa sebaliknya: ada yang namanya dialektika, atau kematangan karena konflik.

Karena relativitas semacam ini, maka kita bisa jumpai diri kita berumah tangga dengan wanita yang bukan jodoh dan sekaligus "bukan istri". Sama dengan soal cita-cita dan karier. Kita memilih fakultas dan bidang pekerjaan bukan berdasarkan riset diri tentang apa yang terbaik dan berjodoh bagi kita. Kita memilih bidang pekerjaan berdasarkan dorongan atas atas rangsangan dari luar yang rumusnya global: mana fakultas basah, mana pekerjaan yang terbanyak upahnya, dan seterusnya.

Hidup kita belum tentu sesuai dengan apa yang Tuhan skenariokan. Apakah Anda pikir Tuhan bikin Anda tanpa konsep apa-apa dan tidur sesudah Anda tercipta? Padahal, kita tidak pernah mampu bikin atau menciptakan anak. Kita sekadar melakukan sesuatu yang enak dengan istri kita, dan risikonya anak pun lahir.

Alhasil, kata Kitab Suci: min kuntum la yahtsibu. Berlangsung hal-hal yang sama sekali tak cocok dengan dugaan kita, dengan perhitungan kita, dengan gagasan dan persepsi kita, serta dengan ilmu pengetahuan kita. Mungkin karena jarang bertanya kepada Pencipta apa mau-Nya atas hidup kita, karena Tuhan selalu kita perlakukan sebagai pihak ketiga, alis “Dia”, dan jarang kita “Engkau”-kan. Maka, selalu, kalau saya diminta memberi nasihat perkawinan di suatu resepsi, inti petuah saya adalah: “Jangan seperti saya!”

Atau, orang melakukan kawin bawah tangan karena yakin, bahwa fiqih agama yang dianutnya memperbolehkan. Dilakukan secara gelap, karena ada peraturan pemerintah yang otoritasnya mengatasi peraturan Tuhan.

Peraturan pemerintah itu entah bagaimana lahirnya. Mungkin berasal dari "otoritas bawah tangan" di pusat kekuasaan. Mungkin juga karena keinginan untuk secara pragmatis menghindarkan bangsa dan birokrasi ini dari hal-hal yang merepotkan dan menambah perkara. Wong perkara yang ada saja sudah tak bisa diatasi.

Sikap saya mendua terhadap pp-10 ini. Kalau berpikir hukum positif keagamaan, saya tak setuju. Tetapi kalau melihat perlunya "tiran" untuk mem-"petrus"-i kecenderungan budaya masyarakat yang demokrasinya mentah, maka saya angkat tangan.

Budaya demokrasi mentah itu, maksud saya, ketidaksiapan seseorang atau sebuah masyarakat untuk menerapkan kebebasan. Anda tidak bisa membiarkan siswa-siswi sekolah menengah pawai naik motor dengan hanya memakai celana dalam dan BH, hanya demi demokrasi.

Aturan obyektif positif fiqih Islam tentang poligami, tidak sendirinya membuka diri untuk dimanfaatkan kaum lelaki tanpa pertanggungan jawab kualitatif. Sama dengan shalat lima waktu: Ia bukan tugas jungkir-jungkir yang bebas dari pemaknaan, penghayatan, dan kesungguhan atas setiap kata yang diucapkan dalam shalat.

Bagaimana mungkin seseorang meminta kepada Tuhan dalam shalatnya," Berilah hamba jalan yang lurus", padahal jalan itu sudah lama Tuhan kasih dan ia tak pernah memakainya, sementara ia minta terus di setiap raka'at shalat. Gendheng itu namanya. Minta disuguhi kopi, sudah dikasih, enggak pernah diminum, tapi minta lagi, disuguhi lagi, tak juga diminum, tapi minta lagi, minta lagi... Manusia tak boleh dipahami dan memahami dirinya hanya sebagai robot yang bergerak teknis belaka. Ia adalah makhluk pertanggungan jawab. Makhluk akal. Makhluk logika dan kesungguhan hati.

Demikian soal kawin. Lelaki tidak bisa memahami perkenanan poligami dalam Islam hanya dalam perspektif kebebasan, sebab aksentuasinya justru adalah pertanggungjawaban sosial. Saya tak bisa berkata kepada Islam: "Kau memperbolehkan aku kawin lebih dari satu, maka aku kawin lagi. Titik". Karena prinsip Islam soal perkawinan adalah monogami.

Poligami bukanlah prinsip, bukan asas, melainkan "uang tak terduga" dalam "budgeting kehidupan", yang memang mengandung kemungkinan-kemungkinan tak terbatas. Anda jangan makan kodok, itu makruh, tapi karena Anda dibuang di tengah hutan belantara dan siang itu hanya ketemu kodok, ya makanlah.

Shalat harus dilakukan dengan berdiri, ruku', sujud, tahiyat, dan lain sebagainya. Tapi karena engkau hanya bisa berbaring, ya shalatlah dengan terbaring. Dan karena engkau bisa ya hatimulah saja yang mengucapkan kalimat-kalimat kepada Allah. Allah tidak meminta bunyi mulutmu, bahkan Ia juga tak meminta ucapan lahir maupun batinmu. Yang diminta Allah adalah kesungguhan hatimu. Allah lebih memilih kesungguhan hati meskipun tanpa ucapan dan apalagi sekadar gerakan tanpa bunyi.

Maka, tekanan makna poligami tidak pada perkenanan obyektif fiqih melainkan pada pengetahuan dan kesungguhan jiwa seseorang atas dirinya di tengah integralitas dengan lingkungan sosialnya. Kita kawin lebih dari satu hanya kalau ada situasi-situasi sosial yang dalam perhitungan kolektif memaksa kita untuk itu, yang mewajibkan sejumlah lelaki mengorbankan diri menyantuni dan mengangkat derajat sejumlah wanita.

Kitab Suci tidak pernah mengatakan, bahwa nafsu kelelakianmu bancar, maka engkau dipersilakan mengambil lebih dari satu perempuan. Tidak ada agama yang menganjurkan pelampiasan nafsu. Dan bukan Tuhan kalau pekerjaanNya mengendalikan, menaklukkan, dan menjinakkan nafsu pribadi.

Adapun kasus-kasus poligami yang banyak terjadi di masyarakat kita adalah eksploitasi nafsu dan keserakahan lelaki atas fiqih obyektif. Lelaki mengawini lebih dari satu wanita umumnya tidak berangkat dari situasi-situasi darurat sosial - sebagaimana makan kodok di hutan belantara. Juga tidak melalui pertimbangan-pertimbangan kemasyarakatan. Melainkan sekadar pelampiasan-pelampiasan yang bersifat personal dan subyektif.

Pada suatu malam, dalam suatu acara training sebuah organisasi keagamaan mahasiswa, salah seorang Ustadz berkata kepada kaum wanita yang hadir: "Sudahlah kalian pasrah saja pada apa yang dikatakan oleh Allah. Ikhlaslah dimadu".

Saya bertanya kepada kaum wanita itu, kenapa mereka rela menerima anjuran itu. Mereka menjawab: "Saya bisa maklum. Kalau saya sedang mens, lantas bagaimana suami saya...?"

Dan saya berkata, meskipun kemudian menimbulkan kemarahan sebagian dari mereka: "Kalau demikian saya pun setuju dengan poligami, karena Anda sudah telanjur kawin dengan seekor sapi...!"

Tentu saya tidak sedang mengidentikkan lelaki yang menempuh poligami dengan sapi. Hanya saja menilik jawaban wanita tadi, bahwa ia memperkenankan suaminya mempunyai istri lain karena ketika datang bulan ia tak bisa melayani - maka konteksnya menjadi konteks binatang. Maafkan!

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...