Sebagai komunitas yang hidup di antara komunitas lain, perempuan juga tidak lepas dari dilema menjaga privasi dan memperjuangkan kebebasan. Sebab, kritik yang terlampau bebas memungkinkan tradisi ini berkembang liar. Kritik yang kebablasan adalah pengungkapan aib secara vulgar, yang oleh perempuan ditakuti dan sebisa mungkin dihindari.
Dalam analogi Presiden SBY saat membuka peringatan Hari Pers nasional 2008 lalu, kritik adalah obat. Kritik menyehatkan jika dikonsumsi secara benar; tepat dan proporsional. Tapi kritik bisa mematikan jika digunakan tanpa aturan. Meski menjadi konsekuensi demokrasi, kritik tetap harus dibatasi.
Persoalan hukum yang menimpa Prita Mulyasari juga merupakan persoalan yang bersumber dari kritik. Ia menyampaikan keluhan terhadap pelayanan RS Omni Internasional kepada rekan-rekan melalui email sehingga dianggap mencemarkan nama baik. Setelah mengalami dinamika yang rumit Prita divonis membayar ganti rugi Rp. 204 juta rupiah.
Setelah vonis dijatuhkan, dukungan yang diterima Prita juga tidak terpisahkan dari kritik. Ribuan anggota masyarakat mengumpulkan uang koin untuk membantu Prita membayar denda sebagai ujud kritik. Melalui uang koin masyarakat menyampaikan protes atas ketidakadilan yang dialami Prita. Jika dimaknai secara semiotis, koin-koin itu telah menjadi simbol perlawanan terhadap hukum yang direcehkan. Seolah-olah hukum adalah persoalan nominal uang.
Tradisi
Perlawanan melalui koin dalam kasus Prita adalah tanda bahwa tradisi kritik telah lama terbangun, termasuk oleh perempuan. Perempuan seperti telah bersepakat bahwa kritik tidak harus terutara melalui kata. Justru bahasa tindak adakalanya lebih efektif dan kaya makna.
Dalam kisah Folklor Jawa misalnya, penolakan Roro Jonggrang pada lamaran Bandung Bondowoso tidak disampaikan secara vulgar. Meski menolak Roro Jonggrang tidak mengatakan ‘tidak’, tetapi meminta Bandung Bondowoso membuat seribu candi dalam semalam. Dalam analisis singkatnya, syarat tersebut tentu mustahil dipenuhi.
Kritik halus sebagai alternatif menyampaikan sikap sering dipilih perempuan sebab dirasa lebih enak didengar, ngewongke, dan terkadang lebih tepat sasaran. Bahwa pada akhirnya Roro Jonggrang harus curang dengan membuat suara lesung dan kokok ayam, itu persoalan yang berbeda.
Sebagai pranata sosial kritik adalah sarana yang universal dan lintas gender. Kritik yang objektif tidak mempersoalkan siapa mengkritik siapa, apakah dia laki-laki atau perempuan. Dalam relasi kritik yang sehat, persoalan terpusat pada substansi dan cara penyampaian. Sebab, cara dan isi ibarat tubuh dan ruh yang sama-sama penting meski menempati peran berbeda. Kritik yang baik selalu berisi hal yang baik dan disampaikan melalui cara yang baik.
Mengingat perempuan hidup dalam komunitas-komunitas yang lebih kecil, kritik juga berkembang antarentitas. Tidak hanya antarindividu, kritik di antara perempuan juga terjadi secara alami antara kelompok yang satu dengan lainnya. Proses ini berjalan kolektif karena tidak mempersoalkan pikiran dan tindakan individu, melainkan gerakan massa atau hubungan antarindividu dalam sebuah kelompok besar.
Dalam panggung politik Indonesia mutakhir misalnya, perempuan Jawa banyak dikritik karena secara kebetulan telah menjadi simbol perempuan Indonesia. Dalam relasi partisipasi politik terjadi ketimpangan yang kentara antara perempuan Jawa dan luar Jawa. Misalnya dalam hal keterwakilan di parlemen.
Ketimpangan tersebut memunculkan kritik karena perempuan Jawa telah menjadi pars prototo perempuan Indonesia, dalam pentas politik maupun pencitraan. Buktinya, dalam simbol-simbol yang terbangun selama ini perempuan Indonesia dicitrakan halus, penurut, dan santun sebagaimana perempuan Jawa. Padahal perempuan di luar Jawa belum tentu demikian.
Proses kritik semacam ini menjadi menarik karena merepresentasikan dialog budaya antaranggota masyarakat. Dialog yang ideal selalu dapat diidentifikasi melalui kritik positif yang konstruktif. Sedangkan dialog yang buntu biasanya ditandai oleh kritik yang subjektif dan rentan mengalami kebuntuan.
Tradisi kritik perempuan bisa menjadi model dialog kebudayaan karena senantiasa memprioritaskan cara yang santun dan akomodatif, sehingga memperkecil peluang friksi.
Tiga kritik
Meski demikian, ada beberapa hal yang patut dikritisi dari tradisi kritik perempuan selama ini. Pertama, adakalanya kritik tidak terjaga objektivitasnya karena bercampur dengan tendensi pribadi. Akibatnya, kritik yang disampaikan perempuan sering dibumbui emosi pribadi.
Kedua, tendensi pribadi mengakibatkan visi kritik yang disampaikan menjadi kabur. Arah kritik dan sasaran yang tidak jelas pada akhirnya membuat kritik yang disampaikan menjadi gosip. Padahal, terdapat rentang yang sangat jauh antara kritik dan gosip.
Kritik, sebagai pranata sosial sangat memperhatikan akibat yang timbul di masyarakat. Sekecil apapun akibat, baik maupun buruk, harus dipertanggungjawabkan secara moril. Sedangkan gosip hanyalah kegemaran menyampaikan unek-unek tanpa visi perubahan sosial.
Ketiga, harus diakui faktualitas belum menjadi bagian penting dalam tradisi kritik perempuan selama ini. Seringkali kritikan disampaikan berdasarkan dugaan-dugaan tanpa bukti. Bahkan pada kebiasaan petan, pembicaraan tidak terarah ngalor ngidul meski tidak didasari fakta. Karena itulah kebiasaan petan yang banyak dipraktikkan perempuan desa banyak dikritik.
Ketiga kritik di atas menjadi pepeling bahwa tradisi kritik pada perempuan juga harus disertai otokritik. Sebab, langkah bijak pertama menyampaikan kritik adalah introspeksi diri. Dengan begitu, kritik bisa menjadi pranata sosial yang konstruktif, solutif, dan kontributif.
Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar