Kamis, 16 Juni 2011

IHWAL KEPALSUAN

Fahd Djibran
Penulis buku Yang Galau Yang Meracau: Curhat (Tuan) Setan (2011)

Kisah Al dan Ibunya, Siami, di Surabaya memang menampar kesadaran kita.

Lalu kita dibuat sadar bahwa kejujuran telah roboh dari bangunan kesadaran kolektif masyarakat kita. Bagaimana mungkin secara bersama-sama orang-orang dibuat membenci dan mengkhianati nilai yang selama ini kita yakini bersama sebagai sesuatu yang penting sekaligus sakral, kejujuran? Ah, kita tahu kejujuran memang teramat penting sekaligus sakral untuk diperjuangkan, ditegakkan kembali. Maka Al dan Siami seolah menjadi momentum yang tepat untuk mengembalikan kejujuran yang entah hilang ke mana. Mungkin inilah yang menggerakkan kita untuk membuat sebuah gerakan sosial dalam rangka mengembalikan nilai luhur kejujuran.

Bagi saya, untuk menjadi bangsa yang jujur, pertama-tama kita harus mengakui bahwa kita memang suka berbohong. Untuk kemudian melakukan serangkaian kerja penyadaran dan perbaikan untuk menjadi lebih baik—barangkali “lebih jujur”. Kalaupun kita tidak bisa menjadi “manusia jujur”, lebih-lebih “bangsa jujur”, paling tidak kita bisa tetap setia menyunggi kejujuran sebagai sesuatu yang penting sekaligus sakral: membela orang yang jujur, mencintai orang jujur, dan menjadikan mereka sebagai teladan. Bukan memusuhi atau menganggapnya “lebay” atau “irasional”. Itu saja, bagi saya, barangkali sudah cukup sulit.

Dengan mengakui kita suka berbohong, sesungguhnya kita sekaligus “sadar” untuk mengaku bersalah dan menanggung konsekuensi dari kesalahan-kesalahan. Bukan hanya membela dan mengkampanyekan kejujuran. Toh, nyatanya, manusia Indonesia yang paling banyak bohongnya pun—barangkali salah satu dari kita—bisa dengan gagah berani mengikuti kampanye ini dan menunjuk hidung wali-wali murid yang mendemo Siami di SDN Gadel sebagai “kehilangan rasa kemanusiaannya”, “tak punya hati nurani”, dan seterusnya. Sama persis seperti koruptor yang bisa dengan gagah berani mengatakan bahwa korupsi itu “haram”, “dosa”, “keji”, pada siapa saja—tanpa melakukan kerja penyadaran dan perbaikan bagi dirinya sendiri.

Ya, inilah ajakan saya: mari mengaku kalau kita juga pernah berbohong, tentang hal-hal kecil atau hal-hal besar, mengaku bahwa sewaktu sekolah kita pun pernah menyontek dan kadang-kadang membenci teman yang tak mau memberikan contekannya. Sebelum membuat masyarakat dan bangsa yang jujur, mari bekerja untuk diri kita sendiri. Paling tidak, mari bersikap jujur pada diri sendiri.

Saya ingin berbagi sebuah tulisan. Prosa tersebut sebenarnya bukan tulisan baru saya. Saya menulisnya di tahun 2009 dan terdapat dalam buku saya berjudul Curhat Setan. Ada sesuatu yang membuat saya tergerak untuk membagikan tulisan tersebut. Saya ingin mengajak kita semua jujur bahwa kita toh memang suka berbohong. Lantas, pertanyaannya, bisakah kita bekerjasama untuk berusaha tidak berbohong lagi—sekaligus tidak menciptakan situasi-situasi yang "memaksa" orang lain untuk berbohong?

Selamat membaca. Semoga Tuhan melindungi kita dari kebohongan-kebohongan dan kejujuran-palsu yang terkutuk!

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...