Minggu, 12 Juni 2011

Politik 'Kutu Loncat': Dulu Dikecam, Kini Disukai

Serial Demokrasi Indonesia Raya (11)
Derek Manangka & Muchlis Hasyim

Demokrasi dan sistem politik di era rezim Orde Baru, tidak sepenuhnya bisa dikatakan buruk. Sebab banyak juga pembelajaran politik yang masih relevan untuk diterapkan di era reformasi.

Misalnya dalam hal rekrutmen calon wakil rakyat untuk tingkat nasional (DPR-RI) dan tingkat daerah (DPRD). Terhitung mulai Pemilu 1977, pesta demokrasi pertama di mana rezim Orde Baru sudah berhasil menciutkan jumlah partai politik.

Tidak hanya Golkar, partai penguasa yang melakukan penyaringan secara ketat dan berjenjang terhadap kadernya. Melainkan calon anggota dari partai politik, alias partai non penguasa. Dan yang ikut berperan penting dalam penyaringan adalah aparat intelijen. Tujuannya untuk mendapatkan calon wakil rakyat yang ’bermutu’.

Demokrasi di era Orde Baru, dengan sistem penyaringan ketat seperti itu, boleh jadi sudah mati. Tetapi bila dibandingkan era reformasi, longgarnya penyaringan kader ataupun calon wakil rakyat, telah ikut menghasilkan politisi-politisi yang tidak bermutu. Di antaranya politisi yang suka loncat sana, loncat sini alias "kutu loncat".

Di zaman Orde Baru menjadi politisi relatif tidak segampang era reformasi. Predikat sebagai politisi datang dari pengakuan masyarakat. Bukan karena seorang politisi sudah mahir berbicara atas nama "demokrasi" ataupun seseorang bisa bicara semaunya.

Di era reformasi ukuran kapabilitas seorang politisi, kualitas sebuah partai politik lebih sering diukur dari seberapa seringnya politisi atau partai politik itu tampil atau ditampilkan di layar televisi.

Manuver-manuver politik yang di zaman Orde Baru dikecam dan dianggap tabu, tetapi oleh para 'reformis' akhirnya sistem yang ditabukan itu, kemudian mereka adopsi secara totalitas.

Masih melekat dalam ingatan kisah politisi asal Betawi, Ridwan Saidi. Bekas Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini pada awal 1980-an, sempat dijuluki sebagai ’macan panggungnya’ Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebab ketika dia berkampanye untuk PPP, dia mampu membuat stadion yang dipenuhi puluhan bahkan ratusan ribu massa, 'bergoyang'.

Ketakutan massa terhadap rezim Orde Baru yang menggunakan militer sebagai tenaga represif, seolah hilang, jika Ridwan Saidi sudah berorasi. Tapi seusai Pemilu 1982, Ridwan tiba-tiba mengumumkan pengunduran dirinya sebagai anggota DPR/MPR dari Fraksi PPP. Aktivis Angkatan 66 ini tampaknya berbeda haluan dengan Ketua Umum DPP PPP, Dr John Naro SH. Ridwan lantas bergabung dengan Golkar.

Akibatnya, oleh sejumlah lawan maupun kawan politiknya, Ridwan Saidi dituding sebagai politisi ’kutu loncat’, sebutan yang berkonotasi mengolok-olok. Entah secara kebetulan atau memang sudah menjadi suratan tangan Ridwan Saidi, ’kutu loncat’ yang dilakukannya, tidak mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Sehingga Ridwan Saidi seperti politisi yang mendapat dua musibah. Di bekas partainya ia disebut sebagai politisi yang tidak punya komitmen, tetapi di Golkar sendiri, Ridwan Saidi tidak mendapatkan posisi yang layak.

Selain menerima banyak hujatan, nasibnya sebagai politisi kondang, berangsur-angsur surut. Karir politik Ridwan Saidi benar-benar berakhir, karena setelah kepindahannya ke Golkar ia tidak pernah bisa lagi kembali ke panggung politik dengan predikat ’macan panggung’.

Apa yang dilakukan oleh Ridwan Saidi tiga dekade lalu, dijiplak oleh sejumlah politisi termasuk Gubernur/Kepala Daerah di era reformasi.

Perbedaannya, kalau Ridwan Saidi menyeberang ke Golkar, karena lebih didorong rasa sakit hati pada pimpinan partai yang sudah dijinakkan oleh penguasa, di era reformasi para tokoh menyeberang ke Partai Demokrat, karena melihat prospek kehidupan yang lebih layak. Menjadi anggota partai penguasa, berarti lebih mudah mengumpulkan kekayaan.

Singkatnya kalau kepindahan Ridwan Saidi lebih dimotivasi oleh konflik pribadi dengan pucuk pimpinan yang sedang menyeberang secara diam-diam, kepindahan para tokoh di era reformasi lebih dikarenakan oleh faktor duit ataupun transaksional.

Manuver politik yang dilakukan tiga puluh tahun lalu sebagai sesuatu yang ’haram’ kini berubah menjadi sesuatu yang ’halal’. Manuver ’kutu loncat’ kalau dulu dikarenakan perspektif martabat, sekarang perspektif bisnis.

Politik beretika yang tiga dekade lalu sangat dikedepankan, kini di by pass dengan cara berpolitik yang ’semau gue’. Banyak politisi ataupun tokoh masyarakat demi mengamankan posisi pribadinya tidak segan-segan melakukan ’kutu loncat’.

Gubernur DKI Jaya periode (2007-2012), Fauzi Bowo, beberapa bulan lalu sudah menjadi anggota Dewan Pembina Partai Demokrat. Padahal ketika mencalonkan diri empat tahun lalu, Fauzi Bowo menggunakan kendaraan politik PDIP, partai yang secara politik berseberangan dengan Demokrat.

Hal yang sama juga dilakukan Gubernur Sulut SH Sarundajang. Yang membedakan Sarundajang dari Fauzi Bowo adalah sekalipun Sarundajang sudah menyeberang ke Demokrat, tetapi sampai 2011, anak perempuannya masih tetap dia minta bertahan sebagai anggota DPR di PDIP mewakili daerah pemilihan Sulawesi Utara.

Rumor yang santer beredar menyebutkan, DPP PDIP bermaksud melakukan recall (pergantian antar waktu) atas putri Sarundajang. Tetapi recall tersebut masih ditunda, sebab terjadi konsensus di ruang tertutup oleh kalangan terbatas.

Isinya, Gubernur Sarundajang harus membantu PDIP agar memenangkan Pilkada terakhir dan satu-satunya yang belum digelar di Sulut. Hasilnya memang sesuai konsesus. Maka Wanda Sarundajang, putri sang Gubernur Sulut akhirnya tidak direcall oleh DPP PDIP.

Dari segi demokrasi Pancasila yang mengutamakan konsensus dan musyawarah mufakat, apa yang terjadi di Sulawesi Utara, merupakan sebuah contoh yang patut diteladani. Sebab tidak terjadi voting apalagi anarki.

Namun peristiwa ini merupakan sebuah contoh faktual betapa kuatnya sistem transaksional dalam demokrasi di era reformasi. Moral, etika, sistem nilai, keteladanan dalam berdemokrasi, telah berubah secara drastis. Demokrasi menjadi barang dagangan.

Masih berkisar ceritera ’kutu loncat’ di tingkat Kepala Daerah. Gubernur/Kepala Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat baru-baru ini dilantik oleh Ketua Umum dan Sekjen DPP Partai Demokrat selaku Ketua DPD Partai Demokrat se-NTB.

Protes dari sejumlah kader Demokrat pun mengalir. Pasalnya Gubernur tersebut merupakan kader Partai Bulan Bintang (PBB) dan lewat kendaraan politik PBB itulah dia berhasil menang dalam Pilkada lalu.

Namun entah alasan apa, sang Gubernur ikut dalam pencalonan Musda 2011, Partai Demokrat NTB. Hasilnya ia terpilih, menyisihkan kader Partai Demokrat. Artinya sang Gubernur "loncat" dari PBB ke Demokrat.

Dengan kejadian ini terlihat dengan jelas, manuver politik berbentuk ’kutu loncat’ dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan dan varian. Juga tampaknya ’kutu loncat’ semakin menjadi pilihan favorit oleh para politisi dan pemimpin masyarakat. Inikah yang namanya Demokrasi ala Indonesia? [mdr/bersambung]

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...