Saya diminta untuk membahas konflik Israel-Palestina dari perspektif Islam, arah pandang yang sangat menyulitkan, bahkan cenderung saya hindari. Cara pandang ini pula, selama ini, tidak bisa menjernihkan persoalan malah semakin memperkeruhnya.
Yang patut ditegaskan di sini adalah konflik Israel-Palestina bukanlah konflik agama (Yahudi vs. Islam atau Yahudi vs. Islam-Kristen). Konflik ini berawal dari “sengketa tanah” yang melibatkan dua pihak yang bertikai hingga saat ini (Israel dan Palestina) yang merebutkan kedaulatan atas tanah di sana. Hanya saja pengikut yang berkonflik itu, atas tanah—eretz dalam bahasa Ibrani, 'ardh dalam bahasa Arab—yang menjadi rebutan sangat sarat dengan muatan-muatan agama (atau dengan sengaja menarik-narik agama ke dalam konflik itu, dan menyebut “tanah sengketa” itu sebagai tanah kudus bagi agamanya secara pribadi).
“Tanah sengketa” ini disebut oleh bangsa Yahudi sebagai Eretz Yisrael (Tanah Israel), sedangkan oleh bangsa Arab sebagai 'Ardh Filasthin (Tanah Palestina).
Penduduk Israel adalah menganut agama Yahudi—sebagian besar mereka adalah pendatang dari diaspora Yahudi di seluruh dunia (mereka dirundung penderitaan selama berkurun-kurun: penindasan, pengusiran, pengucilan, hingga pembantaian) namun pemukiman-pemukiman Yahudi di Palestina sudah ada jauh sebelum berdirinya negara Israel. Sedangkan di pihak Palestina penduduknya beragama Islam dan Kristen yang mayoritas bermukim selama berabad-abad di Palestina.
Konflik ini berawal dari tujuan yang mulia: kemerdekaan. Bangsa Palestina ingin merdeka dari penjajahan Barat (Inggris). Sedangkan bangsa Yahudi ingin merdeka dari segala bentuk diskriminasi di wilayah-wilayah diaspora. Apa lacur, batas-batas wilayah sebuah negara yang ingin merdeka—nantinya disebut negara dunia ketiga—harus melakukan negosiasi dengan negara penjajahnya. Di sinilah Inggris yang menjajah wilayah Palestina saat itu memainkan peran sangat sentral.
Zionisme adalah kebangkitan suku-bangsa Yahudi di akhir abad ke-19 (1897), sebuah gerakan politik yang didirikan oleh seorang jurnalis keturunan Yahudi Theodor Herzl, sebagaimana kebangkitan suku-suku bangsa di dunia yang memimpikan kemerdekaan dan memiliki tanah yang berdaulat, demikian juga yang terjadi pada suku-bangsa Yahudi yang tercerai-berai di seluruh dunia, dipersatukan oleh Herzl.
Theodor Herzl adalah seorang sekular asli, bukan tokoh agama. Oleh karena itu, pada awalnya Zionisme adalah gerakan politik yang diikat atas dasar sentimen pada suku-bangsa yang memiliki cita-cita: pembukaan wilayah untuk umat Yahudi.
Di awal-awal Konferensi Zionisme, wilayah Palestina tidak masuk dalam opsi, demikian juga gerakan politik ini tidak merujuk pada nubuat kudus: “tanah yang dijanjikan” promised land (Kitab Kejadian 15:18-21) dalam Perjanjian Lama. Tanah yang dimaksud: hamparan wilayah yang membentang antara Sungai Nil di Mesir dan Sungai Furat di Irak.
Waktu itu, wilayah-wilayah yang masuk opsi untuk membangun negara Israel adalah: Uganda, Tripoli, Ciprus, Argentina, Mozambik atau Kongo.
Namun akhirnya gerakan ini menggunakan doktrin agama (Yahudi) untuk memperkuat tujuan mereka agar berjalan efektif, dan bisa memanggil simpati umat Yahudi sedunia.
Kekuatan gerakan Zionis ini adalah lobi. Pihak yang paling disasar waktu itu adalah Inggris, imperialis yang menguasai tiga wilayah: Mesir, Transjordan (Yordania), dan Palestina. Hasil lobi yang paling penting adalah janji dari Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur James Balfour, yang akan membuka pemukiman umat Yahudi di Palestina, peristiwa ini dikenal sebagai Deklarasi Balfour tahun 1917.
Sejak awal, bangsa Arab menolak opsi pembukaan pemukiman Yahudi “pendatang” di Palestina, apalagi pendirian “negara Israel”. Namun pada tiga dekade awal abad ke-20, yang diperparah kebengisan Hitler memburu umat Yahudi di Eropa, imigran Yahudi membanjiri Palestina. Kondisi ini menciptakan kekacauan dan konflik sipil antara umat Yahudi dan Arab-Palestina. Imigran Yahudi juga dengan licik merebut tanah-tanah di sana dengan bermacam-macam cara.
Salah satu kisah dituturkan oleh Elias Chacour, Uskup Agung Gereja Melkitis dalam catatan hariannya Blood Brothers—diterjemahkan oleh Institute for Syriac Christian Studies (ISCS)—Mau’idhah Cinta dari Palestina, September 2008. Kala itu, Elias adalah anak kecil di desanya Biram di daerah Galilea.
Kisah dimulai dari Perayaan Paskah yang dimajukan, ayah Elias, membeli anak domba untuk disembelih, karena menurut ayahnya akan datang “saudara-saudara tua” mereka, yaitu tentara-tentara Yahudi dari Eropa—yang disebut Zionis—akan singgah di desa Elias selama seminggu, namun yang membuat mereka khawatir: mereka membawa senjata.
Perayaan Paskah yang dimajukan dengan menyembelih seekor anak domba adalah sikap dari seorang ayah yang sebenarnya ingin menghibur keluarganya yang dirundung kekhawatiran dengan datangnya tentara Zionis bersenjata itu—kekhawatiran yang terwujud pada kakak laki-laki Elias, Rudah, yang membawa pulang sebuah senjata kuno. Ayah Elias justru marah besar melihat sikap Rudah dan menyuruhnya membuang senjata itu, ayah Elias tidak akan pernah membalas kekerasan dengan kekerasan.
Pesta Paskah yang dimajukan itu adalah sebuah pesta yang berujung pada ironi, meskipun serdadu-serdadu Zionis telah disambut dengan sepenuh hati oleh seluruh penduduk Biram, mereka tetap menjaga jarak, dan petaka dimulai ketika komandan serdadu itu meminta seluruh penduduk Biram meninggalkan rumah-rumah mereka dengan alasan keamanan: katanya desa mereka akan diserang.
Saya teringat dengan akal bulus penjajah di Indonesia, yang membunyikan sirene serangan atau pesawat tempur yang terbang rendah sehingga penduduk desa ketakutan dan meninggalkan rumah-rumah mereka, selanjutnya dengan leluasa penjajah mengangkut seluruh isi rumah dan kandang. Akal bulus ini juga dipraktekkan di Biram, yang berasal dari serdadu Yahudi, setelah penduduk Biram keluar, mereka menguasai desa Biram. Sementara penduduk Biram hidup di hutan. Setelah sadar mereka telah ditipu oleh tamu dan saudara tua mereka sendiri yang disambut dengan penuh suka cita dan kehangatan, penduduk Biram ingin kembali ke desanya, namun mereka justru berhadapan dengan moncong senjata. Sejak saat itu, mereka tidak bisa kembali, ke rumah dan tanah milik mereka, hingga saat ini.
Perang sipil antara bangsa Yahudi dan Arab terus berkecamuk di Palestina, untuk menyelesaikan konflik itu, PBB mengajukan Rencana untuk Palestina yang dikenal sebagai Resolusi 181 melalui pemungutan suara di Majelis Umum PBB 29 November 1947 yang isinya mengakhiri Mandat Inggris untuk Palestina dan memfasilitasi berdirinya dua negara: Yahudi dan Arab. Resolusi ini disetujui oleh 30 negara (53 %), 3 negara setuju di bawah tekanan Amerika (5 %), yang menolak 13 negara (23 %): Afghanistan, Kuba, Mesir, Turki, India, Iran, Irak, Libanon, Pakistan, Saudi Arabia, Suria, Turki, dan Yaman. 10 negara (17 %) memilih abstain. Satu negara (2 %): Thailand tidak hadir dalam pemungutan itu.
Resolusi ini membagi wilayah Palestina, 56 % untuk bakal negara Israel, sedangkan bakal negara Palestina hanya mendapatkan 42 %. Sedangkan 2 % sisanya yang meliputi wilayah Jerusalem—termasuk Betlehem—yang menjadi klaim sentral tiga agama: Yahudi, Kristen dan Islam di bawah administrasi PBB.
Negara-negara Arab jelas-jelas menolak pembagian yang tidak adil itu. Sedangkan Israel sebagai pihak yang diuntungkan—meskipun tidak berhasil mendirikan Israel Raya yang diklaim dari Mesir hingga Irak—menerima Resolusi. Dan kondisi ini diperumit dengan berdirinya Negara Israel 14 Mei 1948, tepat di hari berakhirnya Mandat Inggris untuk Palestina.
Dan selanjutnya sejarah konflik Israel-Palestina yang masuk dalam konflik besar: Israel dengan negara-negara Arab menempuh dua jalur: perang dan perundingan. Dua belah pihak saling mengadu kekuatan untuk menentukan pihak pemenang. Dan, mau diakui atau tidak, negara-negara Arab kalah melawan Israel dalam dua jalur ini, baik perang atau perundingan.
Perang yang terkenal tahun 1948-1949 Israel “dikeroyok” Mesir, Suriah, Libanon, Irak, Jordan, Saudi Arabia, Yaman dan milisi Palestina. Ujungnya adalah seluruh wilayah Palestina dikuasai Israel. Peristiwa itu disebut orang Palestina sebagai al-Nakbah (Bencana Besar) yang ditandai dengan: (1) dimulainya eksodus orang-orang Palestina yang menjadi pengungsi di negara-negara jirannya hingga sekarang (jumlahnya sampai sekarang 5 juta orang lebih), (2) peperangan yang berkecamuk hingga tahun 1949.
Pada Juni 1967, perang hebat kembali terjadi yang dikenal “Pertempuran Enam Hari”, antara Israel dengan tiga negara Arab yang memiliki perbatasan dengan Israel: Mesir, Suria, dan Jordania yang dibantu penuh oleh negara-negara Arab: Irak, Saudi Arabia, Sudan, Tunisia, Maroko, dan Aljazair. Lagi-lagi negara Arab kalah, malah wilayah mereka seperti Sinai yang sebelumnya milik Mesir dan Jalur Gaza yang dikontrol oleh Mesir, Dataran Tinggi Golan milik Suria, dan Tepi Barat (termasuk Kota Jerusalem Timur) yang dikontrol oleh Jordania, seluruhnya dikuasai Israel.
Untuk mengatasi konflik ini DK PBB mengeluarkan Resolusi 242 November 1967 yang memerintahkan agar Israel mundur dari wilayah-wilayah yang dikuasainya sebelum Perang Juni 1967. Israel menolak. Perang kembali terjadi pada Oktober 1973 Mesir berhasil mengusir Israel dari Sinai, dan untuk menyelesaikan konflik itu diselesaikan melalui jalur perundingan yang puncaknya pada Kesepakatan Kamp David 1979 yang isinya dua negara Israel dan Mesir sama-sama mengakui dan memiliki hubungan diplomatik penuh.
Bagaimana nasib Palestina di rentang masa 1948-1967? Ibarat pelanduk yang mati di antara gajah-gajah yang bertarung. Rakyat Palestina telah memperjuangkan kemerdekaan mereka dengan dua jalur juga: perundingan dan perang. Perundingan dan diplomatik dimulai dengan berdirinya PLO (1964) yang dibentuk oleh kelompok-kelompok di Palestina dari pelbagai aliran dan ideologi, ada yang nasionalis, komunis, dan lain-lain. Kelompok terbesar adalah Fatah kelompok nasionalis Palestina yang berdiri tahun 1954 dengan tokohnya Yasser Arafat yang sebelumnya melakukan konfrontasi bersenjata dengan Israel.
Konfrontasi dengan Israel semakin membuat Palestina hancur-lebur, tak hanya terlibat konflik dengan Israel, pejuang bersenjata Palestina juga terjebak konflik dengan Jordania yang dikenal sebagai “September Hitam” yang menewaskan 10.000 orang Palestina, dan pejuang Palestina juga terlibat dalam Perang Saudara di Libanon, serbuan Israel pada pengungsian Shabra dan Shatila yang membunuh ribuan orang Palestina, hingga Peristiwa Intifadhah Pertama yang meletus 1987 yang membawa kehancuran di pihak Israel dan Palestina.
Perang yang berkepanjangan dan memakan banyak korban dari dua belah pihak, sungguh melelahkan, dan tidak ada jalan lain kecuali berunding. Pada tahun 1993 lahir Kesepakatan Oslo yang menjadi babak baru bagi Palestina. Namun PLO harus mengakui Israel, dengan imbalan Jalur Gaza dan Tepi Barat akan kembali ke Palestina, dan harapan terhadap Negara Palestina semakin jelas. Mulai dibentuk lembaga-lembaga transisi untuk menyiapkan kemerdekaan Palestina, mulai dari lembaga-lembaga eksekutif (Otoritas Palestina), legislatif, dan yudikatif yang semi-negara.
Namun perundingan ini selalu menemui jalur terjal, setiap ada pihak yang mau berunding baik dari Israel atau Palestina, dari dalam negeri selalu ada pihak yang menentang dan memboikot. Di Israel adalah kelompok konservatif politik dan agama, sedangkan di pihak Palestina yang paling keras untuk menolak dan menggagalkan setiap perundingan adalah Hamas (berdiri tahun 1987) dan Jihad Islami (berdiri tahun 70-an).
Pada tahun 2006, Hamas mengikuti Pemilu yang sebelumnya memilih memboikot—di tengah ancaman blokade Israel, dan boikot dana dari Amerika, Uni Eropa, dan lain-lain—Hamas pun mengalahkan Fatah. Kekuasaan terbagi, Presiden Palestina Mahmud Abbas dari Fatah, Perdana Menteri Ismail Haniyah dari Hamas. Namun komposisi ini hanya bertahan setahun lebih, Juni 2007 perpecahan antara Fatah dan Hamas, memaksa Haniyah mundur dan diganti Salam Fayyad. Namun sejak saat itu, Palestina pecah: Jalur Gaza dikuasai Hamas namun diboikot dunia internasional, sedangkan Tepi Barat dikuasai Fatah, bersama Otoritas Palestina, dan PLO.
Krisis politik di Palestina inilah yang membuat posisi Palestina semakin lemah sehingga mudah dicerai-beraikan oleh Israel. Dan tidak adanya kesepakatan langkah: perang atau berunding di antara Palestina membuat perjuangan mereka maju-mundur.
Namun sejarah tadi membuktikan ke kita, dengan perang, rakyat Palestina semakin kehilangan dan berada di kehancuran. Peristiwa terakhir penyerangan 22 hari militer Israel ke Jalur Gaza, karena dua belah pihak: Israel dan Hamas memilih peperangan untuk menyelesaikan konflik.
Sedangkan perundingan meskipun memakan waktu yang lama, dan kesabaran yang lebih, sedikit demi sedikit rakyat Palestina mulai menuai hasilnya.
Meskipun demikian, dua jalur perjuangan ini masih dianggap dilema yang tak pernah dituntaskan oleh pihak-pihak di Palestina: memilih perang atau berunding?
==================================
Makalah pengantar untuk diskusi tentang “Konflik Israel dan Palestina: Sampai Kapan?” di STT Jakarta, 22 Januari 2009 bersama Fariz Mehdawi (Duta Besar Palestina untuk Indonesia), Frans Tumiwa (Anggota Sabeel, Organisasi Lintas Iman di Palestina), dan Pdt. Yonky Karman (Dosen STT Jakarta)
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar