Pada tanggal 30 Juli, pukul 04.00 waktu setempat, dua buah kapal perontok plus satu kapal biasa milik pasukan Jepang - musuh yang ditunggu itu - memasuki kawasan teluk Saumlaki.
Dengan menggunakan boat-boat kecil, bala tentara Jepang menuju ke arah pantai, sementara dua kapal perontok tetap siaga pada jarak tertentu. Ketika ketinggian air laut tinggal selutut, pasukan Negeri Matahari Terbit itu mulai turun ke air dan melangkah membentuk jajaran yang siap mengepung.
Tapi belum sempat sepatu-sepatu lars itu menginjak pasir pantai, mereka langsung disambut hujan tembakan oleh dua senapan mesin MG. Sambutan "open fire" 13 pasukan KNIL langsung membuat pasukan Jepang kocar-kacir, lalu kabur dengan boat-boat menuju kapal perontoknya. Mereka kemudian langsung meninggalkan Teluk Saumlaki. Beberapa orang pasukan Jepang tewas dalam pertempuran singkat yang tak berimbang itu.
Pada 31 Juli 1942, satu kontingen pasukan Australia, "Plover Force" mencoba mendarat di Saumlaki untuk memperkuat barisan Belanda-KNIL, tapi usaha itu gagal. Dua kapal Southern Cross dan Chinampa meninggalkan Darwin 28 Juli. Ketika memasuki kawasan pantai Saumlaki pada dinihari 31 Juli, Chinampa diberondong peluru pasukan Jepang. Komandan pasukan Australia bahkan tewas ketika masih berada di atas kapal. Kedua kapal perang itu balik lagi menuju Darwin. Tak lama setelah itu, pasukan Belanda dalam skala besar melakukan serangan balasan terhadap Jepang yang sebelumnya berhasil menduduki Kepulauan Tanimbar.
Prestasi pasukan KNIL yang hanya terdiri 13 personil (meskipun yang selamat tinggal tujuh orang) memang mengundang decak kagum. Mereka berhasil menghalau dua kapal perontok Jepang, sementara bala bantuan dari Australia dengan 82 personil yang datang dengan dua buah kapal justru kalah dan harus merelakan nyawa komandannya. Hanya 50 orang yang berhasil kembali ke Benua Kangguru.
Tujuh orang KNIL itu, satu orang komandan dan enam anak buah, tiba di Australia beberapa hari kemudian. Sang komandan, Sersan Julius Tahija, dielu-elukan oleh publik Australia. Pertempuran di awal Perang Pasifik tersebut mengharumkan nama Tahija, sehingga dia memperoleh penghargaan tertinggi Pemerintah Belanda, Ridders der Militaire Willems-Orde -- penghargaan setingkat Victoria Cross di Inggris atau Congressional Medal of Honor Amerika Serikat.
"Perang sangat kejam. Saya selalu berpikir, musuh (saya) mati tanpa kehendaknya, tanpa dosa kepada diri saya. Tetapi, itulah perang. Kalau tidak saya bunuh, saya yang mungkin bakal terbunuh," ujar Tahija mengenang pertempuran itu.
Kisah heroik, langka dan legendaris itu kembali terbayang ketika Selasa (30/7) 2002 Julius Tahija meninggal dunia dalam usia 86 tahun. Komisaris kehormatan sekaligus salah seorang pendiri P.T. Freeport Indonesia itu menutup mata di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC), Jakarta, Selasa (30/7) pada pukul 05.20 WIB.
Sosok pengusaha dan bekas tentara yang dikenal tegas itu meninggalkan dua orang anak, Sjakon G. Tahija dan George Tahija, tepat 17 hari setelah ia merayakan ulang tahunnya pada 13 Juli. "Sebetulnya beliau sangat sehat, namun belakangan, setelah ibu tidak ada, kesehatannya agak menurun," ujar Alex, salah seorang kerabat Julius yang dihubungi Wahyu Mulyono dari Tempo News Room, Rabu (31/7) malam.
Sosok pendiam dan berkulit legam ini dicintai semua anak buahnya, karena dia bos yang tegas dan berdisiplin. Tidak hanya kepada rekannya sebangsa, bahkan dengan para tenaga asing, Tahija tidak pernah takut. "Siapa pun dia, orang Indonesia atau bule, kalau salah..., out."
Sangat panjang jalan yang pernah ditempuh lelaki keturunan Ambon kelahiran Surabaya ini. Beragam pengalaman serta lakon kehidupan sudah dia tampilkan. Tampak dalam deretan predikat profesional yang dia sandang dan nyaris tidak pernah berakhir; intelijen, gerilyawan, prajurit komando, pelaku bisnis, banker, pengusaha, filantropis, dan beragam sebutan lain.
Bagaikan lakon dalam kisah wayang yang dikaguminya sejak masa bocah, dia berpendapat, "...tak seorang pun bisa menebak, lakon apa yang nanti harus kita jalani. Tetapi, apa pun lakon itu, semuanya harus dimainkan dengan maksimal."
Pelajaran ini pula yang dia tangkap ketika pada usia 10 tahun, Tahija ditinggal mati ibunya. Di sekolah, ia belajar soal apresiasi dan kejujuran. "Guru saya orang Belanda mengajarkan tentang adanya konflik kepentingan dan etika, yang kemudian saya rasakan ketika sudah terjun ke dunia bisnis," ujarnya.
Sejak usia sembilan tahun, Tahija kecil sudah rajin menabung. Hasil tabungannya itu kemudian dijadikannya modal usaha jualan beras dari pintu ke pintu selama tiga tahun lamanya. Sebagai saudagar muda, ia kerap bekerjasama dengan saudagar keturunan Cina dan ia mengaku banyak belajar dari mereka. Setidaknya ada empat kiat yang ia peroleh sebagai kunci sukses berdagang: jangan pernah menipu pelanggan, belanjakan uang sebanyak yang diperoleh, lunasi utang secepatnya dan jaga agar overhead tetap rendah.
Bisnisnya kemudian berkembang pesat, dan ketika berusia 19 tahun, ia sudah menjadi importir barang-barang dari Belanda, Jepang, Singapore dan Amerika Serikat. Dari hanya memiliki sepeda untuk berdagang, ia kemudian mampu membeli truk untuk menjalankan bisnisnya.
Episode baru dalam hidupnya dimulai ketika pada tahun 1937 ia mendaftarkan diri sebagai tentara KNIL dan ikut latihan militer di Bandung. Ketika Jepang masuk Indonesia tahun 1942, Tahija kabur ke Australia. Ia kemudian dianugerahi medali Kerajaan Belanda ketika memimpin pasukan KNIL menghalau bala tentara Jepang di Kepulauan Tanimbar, Maluku.
Setelah masa perang, Tahija terpilih sebagai anggota kabinet Negara Indonesia Timur dan aktif dalam negosiasi yang kemudian ikut mengantarkan Indonesia pada pengakuan kedaulatan pada Desember 1949. Atas rekomendasi Jenderal TB Simatupang, Tahija bergabung dengan TNI dengan pangkat letnan kolonel.
Dua tahun kemudian di tahun 1951, setelah mundur dari TNI, Presiden Soekarno mengajaknya bergabung dengan perusahaan minyak dan gas Amerika, Caltex, sebuah perusahaan joint venture antara Chevron dan Texaco Corps. Selepas jabatan eksekutif Caltex, Tahija kemudian terjun sepenuhnya ke bisnis dan menjadi penyantun di berbagai lembaga pendidikan.
Perjalanan hidupnya yang panjang: mulai dari zaman Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru hingga Era Reformasi ternyata membuat Tahija belum merasa puas pada kemajuan yang diperoleh Indonesia sebagai bangsa. Ia tak menolak, kondisi seperti itu, dikontribusi sedikit-banyaknya oleh negara kolonial Belanda. "Belanda sangat pintar mengajarkan orang Indonesia untuk jadi mekanik dan ahli teknik, tapi sama sekali tak pernah mengajarkan kita jadi manajer ataupun leader -- itu jelas sebuah kebijakan yang disengaja," ujar Tahija seperti dikutip Far Eastern Economic Review edisi 1 Agustus 2002.
Tapi orang Indonesia sendiri, menurut dia, tak pernah mau belajar untuk memperbaikinya. "Orang Indonesia memang tak pernah siap," tambahnya. "We started fighting first and thinking later. Memang tidak gampang memulai sesuatu. Tapi masalahnya kita tak pernah berpikir sebagai satu entitas, sehingga ketika kita harus mengatasi suatu persoalan, terasa sangat sulit."
Ia juga prihatin makin parahnya krisis kepemimpinan di Indonesia dewasa ini, telah terjadi erosi hampir di semua level. "Entah mana yang benar, mana yang salah, semuanya sudah campur aduk. Sangat sulit menemukan tokoh yang bisa dijadikan teladan," ulasnya lagi.
Tapi tokoh yang penuh warna, yang memiliki prinsip dan keberanian dalam menjatuhkan pilihan di sepanjang hidupnya ini sudah dipanggil menghadap-Nya. Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya. (Budi Putra/wahyu d | Tempointeraktif)
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar