Sabtu, 08 Januari 2011

Fleur Paumen, Pilih Islam dan Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Fleur Paumen baru saja kembali dari perjalanan haji di tanah suci. "Kami melakukannya untuk Allah, jadi tidak boleh mengeluh," katanya. Delapan belas tahun lalu, tanpa paksaan Fleur memutuskan memeluk Islam dan bermukim di Indonesia. Pilihan yang tak dimengerti keluarga dan teman-temannya.

Fleur menuangkan segelas air zam-zam untuk saya. Ini air suci. Mereka yang pergi haji menampungnya di botol plastik untuk dibawa pulang dari Arab Saudi. Air ini bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Kami bertemu di rumah baru Fleur di Cimanggis, di sebelah selatan Jakarta: reuni setelah lama tak berjumpa.

Bandung

Saya mengenal Fleur sejak akhir tahun 80-an, ketika kami - sekelompok pelajar Belanda - mengikuti kursus bahasa Indonesia di Bandung. Itu adalah perkenalan pertama kami dengan negara berpenduduk Muslim terbanyak ini. Dulu saya harus membiasakan diri dengan suara adzan yang berkumandang ke penjuru kota.

Gadis-gadis berjilbab juga saya anggap menghambat emansipasi perempuan. Namun Fleur langsung tertarik dengan Islam. "Waktu kita di Bandung dulu, saya lihat orang-orang shalat pada hari raya Idul Adha. Saya pikir, saya juga ingin ikutan."

Fleur masih ingat bagaimana kebersamaan terlihat pada Idul Adha. "Daging kurban dibagikan, dan sisi sosial Idul Adha mempesona saya." Saya sendiri masih punya foto kambing yang sedang disembelih. Di Jalan Imam Bonjol, tempat saya kos waktu itu.

Katolik

Ketika kembali ke Leiden, Fleur mendalami Islam. Namun ia kadang masih mengikuti seminar dan okumeni gereja. "Orangtua saya dulunya Katolik. Sejak kecil saya terobsesi dengan agama. Semua kisah Injil sudah saya lahap."

Tahun berikutnya, saya dan Fleur kembali ke Bandung. Ia untuk penelitian psikologis dan saya untuk PKL antropologi. Fleur mengunjungi berbagai pertemuan Islam. Suatu saat ia bahkan muncul dengan busana Muslim. Saya ingat debat panas kami soal Islam.

Fleur tak mempedulikan keberatan dan keraguan saya. Sebaliknya, kepercayaannya makin kuat. Waktu itu, ia berkenalan dengan suaminya sekarang, Syahganda - akrab dipanggil Igand. Ia orang Sumatra dan Muslim taat.

Mendesak

Tentu saja, gambaran klise muncul: pria Muslim akan memaksa calon istrinya masuk agama yang sama. Namun, Igand menampik hal itu. "Saya tak pernah memintanya pindah agama. Ia sendiri yang memutuskan masuk Islam."

Sementara Igand tetap tinggal di Indonesia, Fleur kembali mendalami Islam di Belanda. Sebenarnya, Igand tak tahu Fleur mempelajari Islam. Fleur tertawa dan berpikir-pikir, "Saya tahu, untuk menikah saya harus jadi Muslim. Tapi saya ingin, pilihan itu keputusan saya sendiri."

Walaupun lingkungan sekitarnya tak mengerti - "Orangtua saya khawatir kegandrungan saya terhadap Islam cuma sementara. Mereka selalu bilang, saya bisa kembali ke Katolik" - Fleur akhirnya mengucap dua kalimat syahadat pada Oktober 1992. Pada 1994 ia dan Igand menikah di Rotterdam.

Haji

Sekarang, 16 tahun kemudian, mereka telah dikaruniai tiga anak. Mereka baru saja kembali dari perjalanan haji di Makkah. Keduanya jadi bagian sebuah kloter berjumlah 150 jamaah haji. Solidaritas yang tercipta di antara mereka amat kuat.

"Saya kadang takut dan punya bayangan mengerikan," kisah Fleur. "Saya takut terjebak di tengah massa." Untungnya, itu tidak terjadi. Toh menunaikan ibadah haji bukan sesuatu yang mudah. "Kadang kita harus bangun jam dua dini hari untuk pergi ke tempat selanjutnya. Namun semua terasa ringan karena kami melakukannya untuk Allah."

Karena ia sekarang sudah menunaikan ibadah haji, Muslim Indonesia taat lainnya mungkin akan menaruh hormat padanya. Di sinilah mental Belanda yang rendah hati muncul. "Harus lihat dulu praktiknya, apa saya bisa jadi Muslimah yang lebih baik."

Belanda

Usia Fleur sekarang 44 tahun. Sebagai psikolog anak ia telah mendirikan sekolah untuk anak yatim-piatu. Ia ingin liburan ke Belanda, namun tak punya rencana untuk benar-benar kembali bermukim di negeri kincir angin. "Dulu saya selalu bangga dengan toleransi di Belanda. Sekarang saya malah jadi malu karena di negeri saya ada sentimen anti-Islam."

Karena itulah, untuk pertama kalinya dalam 15 tahun, ia menggunakan hak pilih pada pemilu parlemen. "Agar pendapat saya didengar." Ketika ditanya apa rencananya di masa depan, Fleur menjawab, "Mungkin saja anak-anak saya bakal kuliah di Belanda, atau di negara lain. Saya sendiri berpikir akan menghabiskan hari tua di sini." (Marcel Decraene/RNW)

Fleur Paumen dan sang suami
Red: Krisman Purwoko
Sumber: RNW


..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...