Manusia sebagai makhluk sosial. Sudah fitrah manusia untuk saling berinteraksi antarsesama. Dengan demikian, tentu saja ini berarti saling mengurusi. Saya tidak pernah melihat, orang yang hanya sibuk dengan kelemahan diri sendiri memiliki kesempatan untuk mengenali, apalagi mencari solusi atas, masalah di sekitarnya, bangsanya, dan agamanya.
Aa Gym, sebagaimana ustadz, da'i, muballigh dan motivator lainnya, justru adalah orang yang dibesarkan oleh kepandaian dan keterampilannya mengurusi dan mengkritisi kehidupan orang lain. Jadi, boleh dong jika kita berbalik mengkritisinya, terutama jika ia melakukan sesuatu yang "tidak biasa"! Anggap saja kali ini kita mengambil bagian kecil dari perannya selama ini.
Kesalahan yang diperbuat seseorang bukan berarti kesalahan agama yang dianutnya ataupun ideologi yang pegangnya. Banyak pihak yang menilai "kesalahan" Aa Gym kali ini adalah cermin dari kesalahan ajaran Islam. Bahkan Halaman Facebook Apollinaris Darmawan menulis: A’a Gym ceraikan Teh Ninih, dikecam oleh masyarakat dan akan muncul kesadaran bahwa ajaran Islam memang salah.
Solusi utama untuk menghindari perselingkuhan dan perzinahan hanya ada satu: Setia kepada pasangan, bukan poligami. Bagi Anda yang tetap beranggapan bahwa poligami adalah solusi praktis dalam mencegah perselingkuhan, maka inilah yang akan terjadi: Anda akan berpoligami, namun, karena di kemudian hari akhirnya sadar bahwa Anda mustahil sanggup berbuat adil, kemudian takut dosa, maka Anda "terpaksa" menceraikan istri pertama. Jika kelak Anda tergoda oleh wanita lain lagi, Anda akan berpoligami kembali, selanjutnya menceraikan istri kedua. Begitu seterusnya!
Bentuk keluarga ideal menurut Islam dan fitrah manusia adalah monogami. Bukankah kisah cinta yang selalu mengundang decak kagum, bahkan airmata haru, selalu merupakan kisah cinta monogamis? Malah, binatang yang tak berakal saja banyak yang kukuh dalam praktik monogami. Kok manusia mau kalah sama binatang?!
Menggugat pandangan sementara Muslim bahwa poligami adalah sunnah. Dalih "poligami adalah sunnah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan - ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir - bahkan memperketat. Lebih jauh Abduh menyatakan, "poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287). Dan syarat utama yang harus dipenuhi adalah keikhlasan istri, dan itu pun, menurut Quraish Shihab, hanya diperbolehkan melalui proses hukum oleh pengadilan agama.
Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk ditinggalkan). Nabi Saw. bersabda, "Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq" (Halal yang paling dibenci Allah adalah talak). Nah lho! Jika Allah saja sewot dan bahkan membeci talak, masak kita tidak boleh?!
Tidak ada manusia, kecuali Rasulullah saw., yang boleh dikultuskan. Karena konsistensi (keistiqamahan) manusia hanya dapat diukur setelah ajal menjemput. Sejarah mencatat, saat dipenjarakan Belanda, Bung Karno mengkritisi poligami sebagai titik lemah Islam sehingga dia menyarankan agar 'kebiasaan' itu dilarang atau diperketat. Karuan sikap BK ditanggpapi serius oleh politisi Muslim idealis seperti Mohamad Natsir yang menyatakan Islam dapat menerima poligami tetapi bukan atas dasar kebutuhan syahwat, tapi demi kepentingan kemanusiaan dengan syarat berat. Faktanya, Sang Pengkritisi Poligami malah kelak jadi Poligamis Agung. Sebaliknya, Sang Pembela Poligami justru menjelma Monogamis Sejati yang sangat setia pada istrinya.
Semua perilaku Nabi saw. harus dilihat secara utuh. Jangan asal copas saja, apalagi mengedit materi copasan sesuai dengan selera apalagi nafsu! Keteladanan Rasulullah saw. dalam berkeluarga sangat jelas. Pada masa itu, yakni pada abad ke-7, poligami adalah praktik umum masyarakat Quraisy, laki-laki bisa hidup bersama banyak perempuan. Perempuan dianggap seperti hak milik. Terserah mau diapakan. Di tengah lingkungan demikian, Muhammad saw. membangun pernikahan agung. Ia menikahi Khadijah yang 15 tahun lebih tua, dan bersetia sampai sang istri wafat hampir 28 tahun kemudian. Mereka saling bantu dan saling jaga sehingga menjadi pasangan yang kokoh. Mereka biasa mengerjakan tugas keluarga secara bersama. Mulai dari mengatur ekonomi, bermasyarakat, hingga mengasuh anak. Di tengah masyarakat Quraisy yang menolak dakwahnya, pasangan Muhammad saw.-Khadijah hidup bahagia. Orang Quraisy biasa melecehkan anak perempuan. Namun, pasangan itu memuliakan keempat putrinya. Keluarga itu benar-benar keluarga yang hangat dan sakinah. Kesetaraan dan kebersamaan menjadi pola utama hubungan mereka, meskipun Muhammad saw. jelas-jelas pemimpin umat. Itu sangat ’revolusioner’ pada masanya. Masa belasan abad sebelum kaum feminis meneriakkan isu gender sekarang. Pola pernikahan Muhammad saw.-Khadijah mendorong kebiasaan masyarakat untuk berpoligami agar beralih ke monogami. Apalagi Rasul juga melarang sahabat terkasihnya, Ali bin Abu Thalib, berpoligami. Apakah itu bukan petunjuk bahwa pernikahan sebaiknya monogami?
Nah, belum tibakah saatnya untuk sedikit saja belajar bersikap kritis dan menanggalkan "kacamata kuda"?
..........TERKAIT..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar