Sabtu, 08 Januari 2011

Raden Mas Cingpit alias Ashabul Kipit

Emha Ainun Nadjib

Perhitungan penyelenggara sekitar 5.000 orang hadir di konser Kiai Kanjeng di Stadion Titiwangsa Kuala Lumpur Malaysia. Tapi yang hadir hampir dua kali lipat, sehingga kepadatan dan jejalan penonton mengubah atmosfer psikologis dan budaya perilaku yang berlangsung.

Membeludaknya jumlah penonton bukan karena mereka suka Kiai Kanjeng, tetapi karena tidak paham Kiai Kanjeng. Mereka menyangka Kiai Kanjeng itu seorang Kiai, dibayangkan orang sangat tua berjenggot putih, tidak pernah omong tapi bisa berjalan di atas air, bisa ngemut api dan menggulingkan gunung… he he he

Bangsa Indonesia hidup dalam khayalan. Kalau mereka memilih SBY jadi Presiden, itu bukan karena mereka memiliki pengetahuan dan mengerti siapa SBY. SBY yang dipilih adalah SBY dalam khayalan mereka. Demikian juga banyak sekali hal-hal lainnya. Berkhayal tentang uang, kekayaan, kekuasaan, jabatan, idealisme, Nabi, Rasul, Tuhan…. Semua mereka khayalkan secara subyektif dan hampir selalu siap kalah ternyata khayalan mereka tidak cocok sama sekali dengan kenyataan yang nongol di depan hidung mereka.

Tetapi karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, maka mereka mampu kaget setiap saat, mampu hidup dalam stres kebingungan sampai puluhan tahun lamanya. Mereka berjuang saja dengan khayalan. Bukannya mempelajari medan perang, cuaca dan kuat lemahnya musuh, tetapi sibuk dengan kemauannya sendiri, kemudian terjengkang, atau tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Maju tak ada jalan, mundur malu.

Kiai Kanjeng sudah pentas di lebih dari 30 kota besar dunia: London, Sydney, Alexandria, Ipoh, Aberdeen, Leed, Adelaide, Manchester, Thanta, Melbourne, Teramo, Canberra, Roma, Ismailia, Berlin, ElFayoum… dlsb. dan hanya 5 persen ditonton oleh sesama bangsa Indonesia. Tetapi kenapa relatif tak pernah ada beritanya di media massa Indonesia, itu karena rata-rata orang Kiai Kanjeng berkulit coklat kehitam-hitaman sehingga tidak camerable. Juga mereka tidak punya dana untuk membeli cairan pemutih kulit, sudah ada yang pernah mencoba sekali tapi jadinya malah seperti demblokan panu-panu di wajah mereka.

Tapi khusus di Stadion Titiwangsa KL penontonnya khusus TKI: arek-arek Blitar, Tulungagung, Kediri, Jember, Banyuwangi, Tuban, Indramayu, Mataram, Kupang dlsb. Saya pribadi dengan mbak Novia Kolopaking rutin ketemu TKI-TKW di Malaysia, Hongkong, Arab dan Korea Selatan. Sebelum di stadion itu Kiai Kanjeng pentas di khalayak Malaysia di beberapa kota. Dan begitu ketemu TKI-TKW, suasana sungguh beda. Di stadion itu orang longak-longok mikir “Yang mana ya Kiai Kanjeng….?” Karena lama tak ada nongol orang seperti yang mereka khayalkan maka akhirnya mereka tidak peduli, yang penting begitu ada ritme musik berdentang mereka berjoget habis. Gank-gank, kelompok-kelompok sangar memenuhi wilayah di depan panggung. Anak-anak muda berpakaian punk, hippies, rambut aneh-aneh, spanduk bertuliskan jargon-jargon dan nama Gank mereka: “Murka”, “Metalika”, “Kapak Maut”….

Kemudian berkelahi. Tukaran. Antem-anteman. Gelut. Saya coba redakan sampai empat kali, bahkan sampai saya terjun ke tengah arena perkelahian, pimpinan Gank saya ajak naik ke panggung dan pidato satu per satu. Tapi momentum itu malah dipergunakan oleh anak buahnya untuk berkelahi karena tidak ada pimpinan yang menghalanginya di wilayah penonton. Yang utama bentrok adalah arek-arek Lamongan. Permasalahan dua desa sejak akhir zaman Soeharto. Ketika mereka akan jadi TKI, dikumpulkan di kantor kecamatan untuk janji damai di rantau, tapi susah juga, wong berkelahi itu nikmat kelihatannya.

Untung bisa kita koordinasikan: Polisi-polisi dan wartawan-wartawan Malaysia kita halangi agar jangan masuk stadion, sebab perkelahian itu rezeki besar bagi Negara Malaysia beserta persnya. Mereka akan akspos habis dalam rangka memperhinakan dan merendahkan bangsa Indonesia sebagaimana selama ini terjadi. Mereka memanggil orang Indonesia dengan kata “Indon”, sepadan dengan rasis kulit putih Amerika yang memanggil penduduk kulit hitam dengan kata “Niger”. Padahal, hari-hari sebelumnya saya mengkoordinasikan berbagai kemungkinan perbaikan sistem ketenagakerjaan Indonesia di luar negeri. Saya sudah ketemu Menaker untuk inovasi-inovasi policy. Saya sudah koordinasi dengan sejumlah personel dan institusi di Korea Selatan untuk menyusun hubungan ketenagakerjaan yang kondusif antara kedua negara. Tapi begitu para TKI-TKW “resepsi” di stadion: susu sedanau itu dinodai oleh nilai tawurnya arek-arek….

Padahal bangsa kita benar-benar bangsa unggul. Tenaga kerja kita di Korea dan Hongkong sangat dicintai oleh bos-bos dan masyarakat karena kerja keras dan kesetiaan mereka. Di Malaysia tenaga kerja kita juga memegang kendali infrastruktur kehidupan dasar bangsa Malaysia: kalau arek-arek minggat, susah benar hidupnya orang Malaysia. Belum lagi anak-anak Indonesia rata-rata multi-talenta, pemberani bahkan nekad dan bonek, energinya luar biasa, ngawur tapi cag-ceg, terampil, dan mampu melakukan sejumlah hal yang orang lain tak mampu lakukan.

Itu baru rakyat biasa. Belum ilmuwannya. Intelektualnya. Teknolognya. Kreator-kreator budayanya. Kalau kesenian, selalu juara dunia. Bahkan olimpiade ilmu-ilmu pengetahuan, Indonesia langganan juara. Olahraga juga tinggal mau atau tidak untuk mateg aji untuk menang. Kelak bangsa Indonesia akan menjadi pemimpin dunia dalam partnership dengan Tiongkok dan India….

Asalkan Raden Mas Cing Pit dan Ashabul Kipit kita kumpulkan, kita dekati, kita sayangi, kita pacu menjadi pendekar bangsa. Cingpit itu kucing kejepit. Susah mau nolong kucing kejepit. Nggak ditolong ngeong-ngeong, ditolong malah nyathek. Masih untung kalau hanya Cingpit: kalau tingkatnya sampai kipit? Kirik kecepit? Kita enak-enak tidur, dibangunkan, dimintai tolong, begitu kita ber***** malah di-jegogi.

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...