Selasa, 04 Januari 2011

AYAT KURSI DI HALAMAN GEREJA

Emha Ainun Nadjib

TATKALA acara di halaman Gereja Pugeran Yogyakarta itu akan saya akhiri pas tengah malam, pekan kedua Agustus 2007, tiba-tiba gempa terasa. Panggung bergoyang. Semua hadirin di depan panggung mendadak berdiri dengan wajah cemas.

Tak terlalu keras sebagaimana gempa Yogya 27 Mei 2006, tetapi dua kali lebih lama. Orang menoleh ke sana ke mari dan saling mengonfirmasi satu sama lain bahwa ada gempa, tapi tidak mengerti akan berbuat apa. Di panggung bagian belakang, saya lihat teman-teman Kiai Kanjeng juga menunjukkan wajah cemas, bahkan panik.

Sial, saya tidak merasakan gempa itu, mungkin karena saya pas berposisi berdiri dan pikiran saya sibuk dengan berbagai hal dalam kelangsungan acara itu. Campur aduk umat Katolik se-DIY dan kaum Muslimin di depan saya. Empat jam penuh suasana penuh tawa, akrab, dan sorak-sorai kerukunan dihentikan oleh ketegangan gempa. Spontan saya mohon izin kepada semua pihak bahwa dalam suasana darurat kami umat Islam membaca Ayat Kursi.

Langsung saya teriak membacakannya, diikuti semua teman Kiai Kanjeng dan para hadirin yang Muslim. Pada kata "wala ya’udhuhu hifzhuhuma" (tak ada yang bisa mengganggu penjagaan Allah atas langit dan bumi), kami ulang sembilan kali. Spontan juga kami mengangkat tangan tinggi-tinggi dan tak terasa hampir semua hadirin mengangkat tangan pula.

Bergemuruh bunyi Ayat Kursi, singgasana Allah, di halaman gereja Yogya selatan itu. Semua khusyuk mengangkat rasa ngeri dan menadahkan tangan permohonan perlindungan kepada Tuhan yang satu, yang satu-satunya, Tuhan yang mana lagi selain yang Itu. Seusai Ayat Kursi, gempa sudah tak terasa, tapi setiap orang cemas membayangkan keluarga mereka di rumah masing-masing.

Ada yang menelepon, mengirim SMS atau menundukkan muka saja dalam kemuraman dan rasa cemas. Acara kami akhiri dengan tingkat kekhusyukan yang ideal. Kiai Kanjeng memberi nomor musik terakhir Hubbu Ahmadin yang berirama orkestratif gerejawi seolah-olah bunyi-bunyian dari Eropa Selatan.

Andaikan gempa itu mengguncang benar dan sekian hadirin terluka, kejatuhan tembok atau terperosok ke dalam patahan tanah, saya pastikan yang lain akan menolong siapa pun saja yang berada dalam jangkauan pertolongannya tanpa menanyakan terlebih dahulu apakah yang akan ditolong itu beragama Islam atau Katolik. Andaikan petugas PPPK gereja mengambil obat-obatan dipastikan juga ia tidak lantas mengutamakan mengobati korban yang Kristiani dulu.

Siapa pun saja yang terluka di dekatmu, engkau obati, meskipun ia memusuhimu. Siapa pun yang lapar di dekatmu engkau beri makan tanpa berpikir apakah identitas agama dan kebangsaan atau sukunya berbeda denganmu. Siapa pun saja yang kehausan di sekitarmu engkau sodori minuman tanpa syarat apa pun juga. Siapa pun saja yang hatinya kesepian di sisimu engkau menyapanya tanpa reserve, bahkan tanpa mewajibkan orang yang engkau sapa itu akan berterima kasih atau tidak kepadamu. Sebelum empat jam bernyanyi dan berdialog, kami semua bertanya jawab.

Apakah kalau Pak Kiai motornya mogok, Pak Pastur boleh memboncengkan dan mengantarkannya ke masjid? Para hadirin menjawab: boleeeeh! Demikian juga sebaliknya kalau Pak Pastur kehujanan basah kuyup, apakah Pak Kiai boleh meminjamkan bajunya untuk dipakai misa oleh Pak Pastur? Boleeeeh! Apakah genset dan sound system yang dipakai dalam acara ini harus milik sesama orang Katolik dan dilarang memakai penyewaan pengeras suara yang dimiliki oleh orang Islam? Tidaaaak!

Apakah kalau pulang dari acara ini kita naik angkot, yang Muslim mencari angkot yang sopirnya Muslim dan yang Kristen mencari angkot yang sopirnya Kristen? Tidaaaak! Apakah anggota kesebelasan sepak bola harus satu agama? Tidaaaak! Bolehkah orang Katolik berurusan saham dengan tetangganya yang beragama Islam untuk buka warung angkringan bersama? Boleeeeh! Bolehkah orang berlainan agama bekerja sama dalam ekonomi? Boleeeeh!

Kerja sama kebudayaan? Boleeeeh! Kesenian? Boleeeeh! Apakah pemain biola beragama Islam harus menggesek biola Islami? Orang tertawa! Apakah kalau di gardu sebelah anak-anak muda Islam ngrumpi lantas terdengar bunyi orang bernyanyi di gereja, mereka boleh merespons dengan ketukan-ketukan kecil di kayu gardu? Boleeeeh! Apakah pemain gitar beragama Katolik boleh mengiringi pemuda Islam menyanyikan lagu kasidah? Boleeeeh!

Apakah parpol tertentu harus beranggotakan umat agama tertentu dan parpol lain harus beranggotakan umat agama lain? Tidaaaak! Bolehkah grup musik Muslim meminjam lagu yang biasa dipakai di gereja untuk menyanyikan syair-syair Islam? Boleeeeh! Sebaliknya? Boleeeeh! Kok, semua boleh, yang tidak boleh apa dong? Saling bertukar istri? Yessss! Apa lagi? Yang Muslim melanggar akidah dan syariatnya dan yang Kristiani melanggar pagar teologinya.

***

Diperlukan ratusan halaman jika saya tuturkan dialog-dialog semacam itu dalam acara di mana semua umat beragama hadir bersama. Sesudah di Gereja Pugeran itu, Kiai Kanjeng beberapa hari kemudian mengadakan pengajian di desa Katolik di Yogya Utara yang penduduk Muslimnya hanya tiga keluarga.

Kemudian di Pasuruan, di sebuah pesantren yang universitasnya juga plural mahasiswanya, kami sepanggung dengan Pak Kiai dan Romo-Romo, juga tokoh-tokoh agama lain. Demikian juga yang Kiai Kanjeng alami di gereja-gereja Katolik di Helsinki, di Melbourne, di Vatikan, Teramo, dan lainnya sebelum ini. Teman-teman di Belanda juga sedang merancang untuk menghadirkan Kiai Kanjeng keliling sejumlah titik di Belanda, untuk ikut menyembuhkan luka yang tergores oleh kasus Theo van Gogh, Hersyi Ali, beberapa tahun silam. *)

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...