Selasa, 04 Januari 2011

Ibuku Seharusnya Mendapatkan Banyak Gelar

Untuk renungan, untuk motivasi, untuk yang baru jadi IBU, untuk yang akan jadi ibu.

Setujukah kau jika aku berkata bahwa seorang ibu seharusnya mendapat banyak gelar? Double, double degree?! Akan kutunjukkan padamu bagaimana hebatnya seorang Ibu!

Tentu kau telah tahu bagaimana perjuangan ibu dari mulai menjagamu dalam rahimnya selama sembilan bulan?! Sungguh semua itu bukan perkara mudah. Bayangkanlah jika kau membawa beban berat lima kilo saja selama sembilan bulan? Sanggupkah?! Tapi ibu, ia sanggup! Bahkan kau lebih berat dari sebuah benda berbobot lima kilogram. Karena kau memiliki nyawa yang akan ia jaga dengan sangat hati-hati. Belum lagi drama persalinan yang menjadi bagian paling mengagumkan. Ibu bertaruh nyawa. Ia bertaruh nyawa saat mengeluarkanmu dari rahimnya. Semua itu tentu tak asing lagi bagimu…

Sekarang lihatlah bagaimana Ibu seharusnya mendapat gelar Sarjana Sastra.

Ingatlah saat ia menceritakan sebuah dongeng. Ibu begitu pandai bercerita. Kadang ia ceritakan kisah yang sudah turun temurun ia dengar hingga kita tak pernah tahu siapa pengarangnya. Kadang ia mengarang cerita sendiri. Kadang ia menceritakan cerita yang kau inginkan kemudian ia mengarangnya saat itu juga. Ah, ia tak sempat menceritakan kisah para Rasul, Sahabat, tabi’iyn, dan tabi’ut tabi’iyn. Tapi lihatlah bagaimana ia pandai bercerita dan merangkai kata. Bukankah kau pun kalah? Berapa menit waktu kau butuhkan untuk merangkai kata ketika pelajaran mengarang di sekolah?

Kupikir ibu pun berhak menyandang gelar Sarjana Ekonomi.

Bukankah Ibu begitu qana’ah dengan nafkah yang diberikan Ayah? Lihatlah dengan gaji yang segitu ia memastikan bayaran sekolahmu tak pernah menunggak. Kau tetap bisa menyantap makanan tiga kali sehari meski dengan lauk seadanya. Tapi kau kadang merengek meminta sesuatu yang di luar kebutuhan hingga membuat Ibu pusing. Tahukah kau jauh di lubuk hatinya ia ingin kau bisa mendapatkan setiap benda yang kau inginkan. Tapi keuangan memang tidak memungkinkan…?

Bagaimana dengan Sarjana Teknik?

Ah, aku tidak berlebihan! Yah… Jika kau tak setuju memberinya gelar S1, paling tidak ia bisa mendapat Ahli Madya kan?

Bukankah ketika setrikanya tidak panas ia telah mencoba mereka-reka penyebabnya? Meskipun ia tak tahu pasti komponen di dalam setrika itu? Atau ketika ia tersetrum kabel setrika yang terkelupas. Ia pun mengambil solasi dan menutupinya. Pun ketika rice cooker berfungsi tak semestinya. Ia menganalisa, mencari penyebab, kemudian mengatasinya. Pernah kulihat Ibu mengganjalnya dengan batu. Jika kau sarjana teknik, ahli madya, apalagi masih calon, Jangan kau tertawakan teknik penyelesaiannya! Bukankah ia tidak berkutat dengan rumus sepertimu? Bukankah ia tidak pernah mengerjakan serangkaian tugas praktikum? Tentu wajar jika ia menyelesaikan semua itu dengan cara yang paling tradisional sesuai dengan kemampuan akalnya. Toh semua itu berhasil. Dan aku tetap akan memberinya gelar ST!

Meskipun Ibu tak pernah masuk jurusan IKK (Ilmu Kesejahteraan Keluarga: Tata Boga, Tata Busana, Tata Rias), tapi ia sangat ahli dalam urusan ini. aku yakin kali ini kau tak akan membantahnya! Karena kau telah merasakan lezatnya masakan yang Ibu buat. Masih ingatkah ketika seragam sekolahmu terlalu besar? Ia yang mengecilkannya. Hanya dengan bermodal jarum dan benang tanpa mesin jahit.

Ah, meski Ibu tak terlalu pandai berdandan kurasa kau setuju bahwa ia punya kecantikan yang terpancar dari dalam. Inner beauty yang dengannya Ibu berhasil menarik hati Ayah. Ingatkah kau saat ia menata rambutmu. Menyisirnya sebelum kau berangkat sekolah ketika kecil dulu? Kadang kuncir dua lengkap dengan poni. Kadang ia sematkan jepitan berbentuk topi di rambutmu. Jepitan yang masih diingat oleh teman TKmu dulu. Hingga seolah-olah jepitan topi menjadi ciri khasmu. Lihatlah kau menjadi gadis kecil yang lucu dan manis. Atau mungkin sempat terlupa dari ingatanmu bahwa ia mengusulkan baju adat Padang pada karnaval 17-an dulu. Padahal jelas kau bukan orang Padang. Karena baju adat Padang yang memakai bawahan celana akan lebih memudahkanmu berjalan. Lihatlah kau menjadi pemuda cilik yang gagah.

Ibu pun berhak menyandang gelar Sarjana Psikologi

Meskipun Ibu tak pernah mempelajari teori perkembangan Piage dan Erickson tapi Ibu mampu memahami saat kau tengah menjalani setiap tahap perkembangan. Ia begitu penuh perhatian saat kau bercerita tentang seorang pujaan hati. Dengan wajah sumringah kau menuturkan setiap momen indah tentang pujaan hatimu. Pun ketika kau tak lagi bercerita tentang sang pujaan hati, kau lebih banyak diam. Ibu tahu sesuatu yang tidak menyenangkan telah terjadi. Dan ibu pun tahu menanyakan "kenapa" hanyalah akan membuatmu bingung dan sedih… Ketika kau berhasil lulus dari sekolah menengah pertama dan mengekspresikannya dengan mencoret-coret baju, ia tak melarangmu pun Karena kau tidak berlebihan melampiaskan kegembiraanmu. Ibu pun ikut menulis namamu di seragam kebangganmu dengan spidol warna-warni. Namamu yang diakhiri dengan akhiran "–ku". Menunjukkan betapa kau miliknya begitu berharga.

Aku tahu gelar Dokter begitu membanggakan dan sulit diraih. Tapi kurasa ibu berhak menyandangnya!

Ingatlah saat kau demam, masuk angin. Ia membalurkan parutan jahe dan bawang merah ke tubuhmu. Ibu tidak mengerokmu karena ia tahu kerokan itu terlalu sakit bagimu. Pun ketika kau diare ia membuatkan larutan gula dan garam untuk menghentikan diaremu. Dan bi idzn -llah semua itu berhasil menyembuhkan sakitmu…

Kenapa aku lupa?

Bukankah Ibu berhak meraih gelar Sarjana Pendidikan?

Tentu. Sejak awal Ibulah gurumu. Ia mengajarimu dari mulai doa mau tidur, doa mau makan, dan doa-doa sehari-hari lainnya. Saat kau kesulitan menyelesaikan soal perkalian ia membantumu meski terkadang kau lihat ia begitu gemas karena kau sudah mulai bosan. Bukankah ia pula yang pertama kali mengajarimu membaca waktu. Ketika di dapur ia menyuruhmu melihat jam. Dan Ibu hanya bertanya. “Jarum Panjang di angka berapa? Jarum Pendek di angka berapa?” Setelah kau memberitahunya. Ia akan menjawab “Oh, jam sekian”. Hingga perlahan-lahan kau mengerti cara membacanya.

Dan Ibu berhak menyandang gelar Ahli Gizi!

Bukankah ia telah berusaha dengan uang belanja seadanya, ibu memasak hidangan bermutu agar kau tumbuh menjadi anak yang sehat?

Belum lagi Sarjana Pertanian.

Meski tak memiliki tanah berhektar-hektar. Tapi Ibu berusaha agar halamannya hijau. Ia begitu memperhatikan tanaman-tanaman di sekitar rumah.

Kini, setujukah kau jika Ibu berhak mendapat semua gelar itu?

Kadang ia melakukan semua keahliannya secara bersamaan. Saat ia menggoreng bakwan sambil menggendongmu dan bercerita agar kau tidak rewel ia tengah menjadi ahli kuliner sekaligus ahli dongeng. Saat ia tengah mengajarimu mengerjakan PR sambil menjahit baju seragammu yang kebesaran agar bisa kau kenakan esok ke sekolah, ia tengah menjadi guru sekaligus seorang tailor!

Semua itu ia lakukan dengan penuh kesabaran, ketekunan, dan cinta. Ibu tak mengharap cintanya akan terbalas dengan seluruh gajimu ketika kau telah bekerja. Karena Ibu tahu sebagian besar gajimu akan kau berikan untuk anak dan istrimu. Ibu tahu itu, dan Ibu tak mempermasalahkannya. Karena ia tak ingin kau menjadi kepala keluarga yang tak bertanggung jawab.

Masih ingatkah saat Ibu menyuruhmu untuk tidak terlalu lama keluar rumah. bahkan ia melarangmu untuk kos. Karena Ibu tahu sebentar lagi waktumu akan lebih banyak kau habiskan bersama suamimu. Ya, kini ibu tengah menikmati saat-saat kau menjadi miliknya. Menikmati setiap kebersamaan denganmu. Pun ketika seorang lelaki shaleh melamarmu, menikahimu, ia akan berdoa dengan penuh kekhusyukan agar kau selamat mengarungi bahtera rumah tanggamu.

Untukmu yang tengah berselisih paham dengan Ibu. Berlarilah segera ke pangkuannya. Sungguh aku rasa ia akan memaafkanmu. Siapakah orang yang lebih tulus memaafkan dan lebih cepat melupakan kesalahanmu daripada Ibu? Segeralah…! Sebelum kau tak pernah lagi bisa bersandar di pangkuannya.

Untukmu yang tak pernah berlemah lembut pada Ibu. Cobalah sepulang kuliah untuk mencium tangannya dan mencium keningnya sambil mengatakan “aku sayang Ibu”. Kenapa kau harus malu? Bukankah kau tak malu mengucapkan kalimat itu pada gadis/pemuda yang kau sayangi? Walaupun sudah sebesar ini, aku masih sering mencium Ibuku dan kupikir itu tidak aneh…!

Tulisan ini kupersembahkan untuk Ibu di seluruh dunia sebagai apresiasi atas jasa-jasanya. Kupersembahkan juga untuk seluruh anak sebagai pelajaran untuk berbakti kepada kedua orang tua khususnya Ibu (seperti sabda Rasulullah). Kupersembahkan untuk seluruh calon Ibu sebagai masukan, dorongan, dan tantangan, bisakah Anda menjadi Ibu yang diinginkan anak Anda yang shalihah dan shaleh kelak???

==================================================
IBU
Sudah lama kau menghadap-Nya.
Maafkan anakmu yang amat malas mendoakanmu.
Tapi aku yakin kau cukup bawa bekal.
Dan aku yakin bahwa di sini,
tiada lagi yang harus kau pertanggungjawabkan.
==================================================

..........TERKAIT..........

1 komentar:

  1. kau..kau..kau..kau..Kau..kau..kau...betul sekali...kau !

    artikel yg bagus dengan bahasa yang sedikit kasar apa puitis ya " KAU "

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...