Minggu, 09 Januari 2011

TAGORE

Sunday, 09 January 2011

TAGORE adalah sosok yang pantas dikenang dan terus dipelajari, pun di Negeri ini. Bagi para peminat sastra di Indonesia, dia dan Kahlil Gibran, dicintai terutama karena sajak-sajak bijak mereka.

Tagore juga orang Asia pertama yang menerima Hadiah Nobel untuk bidang sastra. Bagi para pendidik, Tagore dikenang karena dekatnya Santiniketan dengan Taman Siswa. Dua konsep pendidikan yang sama-sama merupakan kritik terhadap pendidikan Barat. Potret Tagore telah terpasang di Taman Siswa sebelum ia datang pada 1927. Ketika mengunjungi Jawa, Tagore juga menemui pemuda Soekarno di Bandung, sekalipun mata-mata Belanda mengikuti dia. Ia memiliki ketulusan yang tak diragukan dalam penjelajahannya. Tahun ini merupakan perayaan 150 miladnya. Hidupnya adalah semangat zaman itu, yang mungkin tak lagi kita alami.

Ini adalah sebuah zaman di mana cita-cita besar— seperti nasionalisme, internasionalisme— belum dipatahkan pengalaman buruk. Tagore lahir segenerasi lebih awal dari tokoh-tokoh Kebangsaan Indonesia seperti Kartini, Suwardi Suryaningrat, Tirto Adi Suryo, atau nama-nama lain. Ia lahir pada 1861, delapan tahun sebelum tokoh besar India, Mohandas Karamchan Gandhi. Tagore-lah yang menahbiskan nama Mahatma, jiwa nan agung, bagi Gandhi. Pemenang Nobel Ekonomi Amartya Sen, dalam Tagore and His India, menulis betapa dua pemikir terkemuka itu berbeda.

Bahkan, keduanya bertentangan satu sama lain, sembari saling menghormati pula. Kontras mereka barangkali bisa mengingatkan kita pada kontras antara Soekarno dan Sjahrir, meski tidak setara benar. Gandhi, seperti Sukarno. Dia adalah seorang tokoh politik— dalam arti yang baik, bukan seperti yang kita kenal sepuluh tahun belakangan ini. Sementara Tagore seperti Sjahrir, lebih seorang intelektual. Yang pertama lebih toleran pada kebodohan rakyat jelata. Gandhi, misalnya, memaklumi penyembahan terhadap patung yang biasa dilakukan dalam ritual Hindu. Sebab, rakyat tidak mampu menyerap pikiran-pikiran abstrak.

Tagore, seorang Hindu yang monoteis justru sebaliknya. Dia tak tahan melihat rakyat diperlakukan seperti anak-anak. Di sini, Tagore seperti kaum pencerahan Eropa yang percaya bahwa semua manusia pada dasarnya bisa dan seharusnya mencapai rasionalitas—hal yang kemudian hari diragukan para pemikir seperti Nietzsche, Marx, Freud, dan para postmodernis. Hal kedua yang memisahkan mereka adalah pandangan tentang nasionalisme dan ”internasionalisme”. Sebagai seorang penggerak politik, Gandhi percaya pada nasionalisme. Ia bahkan menjunjungnya. Bagi Gandhi, seseorang harus melalui nasionalisme untuk mencapai internasionalisme. Ini sama seperti seseorang harus melalui perang untuk mencapai perdamaian.

Buat kita hari ini, agak mengejutkan membaca Gandhi berpendapat demikian. Tagore sangat mengecam nasionalisme. Ia diundang Mussolini ke Italia, tapi segera mengecam pemerintahan fasis itu. Ia juga kecewa pada Kaisar Jepang sekalipun takjub pada kehidupan masyarakatnya yang sangat estetik. Agaknya, gagasannya mengenai ”internasionalisme” juga sebagai kritik atas nasionalisme. Nasionalisme India— ataupun segala semangat kebangsaan yang berguna untuk melawan kolonialisme— menurut dia pada akhirnya mengandung "penghancuran diri" atau menuju ”kekalahan diri”. Suatu self-defeating. Ia juga berpendapat bahwa nasionalisme merupakan konstruksi pemikiran Barat dan ia memperingatkan bahayanya.

Sikap anti-nasionalisme ini sangat tidak populer dan membuat Tagore dikecam baik di India maupun di luar negerinya. Sesungguhnya, di sinilah Tagore maju melampaui zamannya. Di zaman ini, kita telah kenyang melihat pertumpahan darah atas nama nasionalisme– yang bisa–diterapkan pada apapun: kesukuan, keagamaan, dst. Tagore meninggal pada 1941, enam tahun sebelum perpecahan India dan Pakistan atas nama identitas agama. Jawaharlal Nehru menulis, “Barangkali ada baiknya juga bahwa [Tagore] meninggal sekarang sehingga tidak melihat banyak kengerian yang mungkin akan dialami dunia dan India”.

Kita, generasi yang melewati kengerian itu, barangkali perlu membaca kembali yang dipikirkan Tagore sebelum ia melihatnya sendiri.(*)

AYU UTAMI
utami.ayu@gmail.com

..........TERKAIT..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...